Penatalaksanaan Preeklampsia dan Eklampsia Postpartum
Penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia postpartum dilakukan segera melalui manajemen tekanan darah, stabilisasi hemodinamik, kontrol kejang dengan antikonvulsan, dan terapi komplikasi untuk mencegah mortalitas ibu. Pemberian antihipertensi dapat terus dilakukan bila hipertensi menetap.[1,4,6,7]
Antihipertensi
Berdasarkan rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), pasien dengan peningkatan darah sistolik >160 mmHg dan diastolik >110 mmHg pada 2 kali pemeriksaan berselang 4 jam perlu diberikan agen antihipertensi kerja cepat dalam 30–60 menit. Pilihan antihipertensi lini pertama pada kondisi ini meliputi labetalol intravena, hidralazin intravena, dan nifedipin oral. Antihipertensi diberikan dengan target penurunan tekanan darah <150/100 mmHg pada 1 jam pertama.
Setelah stabilisasi tekanan darah awal dilakukan, inisiasi pemberian antihipertensi oral dapat dilakukan bila hipertensi menetap. Penurunan tekanan darah sistolik menjadi 140–150 dan diastolik 90–100 mmHg direkomendasikan. Jenis antihipertensi oral dipilih berdasarkan pertimbangan kondisi masing-masing pasien serta dampaknya bagi keamanan ibu menyusui.[1]
Tabel 1. Dosis Obat Antihipertensi
Nama Obat | Dosis Obat |
Labetalol | 20-40 mg intravena, bolus selama 2 menit |
100-200 mg 2 kali/hari per oral | |
Hidralazin | 5-10 mg intravena bolus selama 2 menit |
Nifedipin lepas lambat | 20-30 mg sekali sehari per oral |
Enalapril | 5-10 mg 2 kali/hari per oral |
Amlodipine | 5-10 mg sekali sehari per oral |
Sumber: dr. Bedry Qintha, Alomedika, 2024.[1,19,20]
Terapi Suportif
Pada pasien dengan gejala berat preeklampsia postpartum, stabilisasi hemodinamik pasien dilakukan melalui terapi suportif yang meliputi menjaga patensi jalan napas, pemberian oksigenasi adekuat, pemasangan jalur intravena serta kateter urin. Pemantauan kardiak dilakukan secara ketat untuk menilai risiko kegagalan organ. Pasien diposisikan posisi dekubitus lateral kiri untuk meningkatkan aliran darah uterus.[1,4,6,7]
Antikonvulsan
Magnesium sulfat merupakan antikonvulsan lini pertama untuk penanganan kejang eklampsia. Mengingat eklampsia dapat terjadi sejak 48 jam pertama hingga seminggu pascapersalinan, pemberian antikonvulsan profilaksis dinilai bermanfaat untuk mencegah kejang pada pasien yang berisiko.
Meskipun didasarkan pada bukti yang cenderung lemah, ACOG merekomendasikan pemberian magnesium sulfat untuk pasien dengan onset baru peningkatan tekanan darah disertai nyeri kepala atau gangguan penglihatan pada periode postpartum. Pemberian disarankan hingga hari ke-7 pascapersalinan dengan mempertimbangkan risiko dan kondisi masing-masing pasien.[1]
Dosis
Pada pasien yang mengalami kejang, pemberian magnesium sulfat dimulai dengan dosis 4–6 gram secara intravena dalam 15–20 menit. Pemberian melalui intravena dilanjutkan dengan dosis rumatan 1–2 gram/jam secara kontinyu. Obat terus diberikan setidaknya hingga 24 jam setelah onset kejang terakhir.[1,19,20]
Alternatif Magnesium Sulfat
Pada pasien yang tidak responsif atau kontraindikasi terhadap pemberian magnesium sulfat, pemberian lorazepam atau diazepam dapat menjadi pilihan terapi. Lorazepam diberikan secara intravena dengan dosis 2–4 mg dalam 2–5 menit. Pemberian diazepam dilakukan secara perlahan melalui intravena dengan dosis 5–10 mg.[1,19,20]
Diuretik
Pemberian diuretik dilakukan setelah melalui evaluasi teliti terhadap status cairan pasien. Parameter berupa output urin, perubahan berat badan pascapersalinan, gejala klinis overload cairan atau hipovolemia dapat menjadi penentu pemberian terapi cairan. Pada pasien dengan bukti klinis hipovolemia, pemberian diuretik direkomendasikan untuk membantu menurunkan tekanan darah dan mencegah readmisi rawatan rumah sakit.
Furosemide intravena atau oral disertai dengan pemantauan berkala serum elektrolit selama 3–5 hari diperkirakan bermanfaat untuk mencapai diuresis yang adekuat. Beberapa studi menyarankan pemberian furosemide dengan dosis 20 mg/hari dilakukan hingga hari ke-5 pascapersalinan.[1,9]
Kuretase Uterus
Terdapat perdebatan terkait manfaat kuretase uterus dalam mempercepat resolusi hipertensi dan memperbaiki kondisi klinis pasien eklampsia postpartum. Beberapa studi menyarankan pemeriksaan USG pelvis pada pasien dengan kecurigaan adanya produk konsepsi yang tertinggal dalam uterin untuk menentukan perlunya kuretase.[1]
Pemantauan Pasien Rawat Jalan
Pasien dengan kehamilan berisiko untuk mengalami peningkatan tekanan darah 3–7 hari pascapersalinan. Edukasi terkait risiko, gejala, dan tanda bahaya preeklampsia perlu diberikan pada tiap pasien pascapersalinan.
Kunjungan rawat jalan perlu dilakukan 1–2 minggu pascapersalinan untuk mengevaluasi tekanan darah dan gejala residu eklampsia postpartum. Setelah pasien dipulangkan dari fasilitas kesehatan, pemantauan tekanan darah di rumah hingga hari ke-10 pascapersalinan dinilai bermanfaat untuk mendeteksi kelainan kardiovaskuler dan gejala preeklampsia postpartum secara dini.[1,4,6,9]