Patofisiologi Lepra
Patofisiologi lepra, atau juga dikenal dengan kusta atau Morbus Hansen, adalah melalui infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri basil tahan asam. Lepra dapat bermanifestasi secara berbeda tergantung pada respon imun masing-masing pasien. Pasien dengan respon imun seluler yang banyak akan memiliki manifestasi bentuk tuberkuloid. Sedangkan pasien dengan respon imun seluler minimal akan memiliki manifestasi bentuk lepromatous. [2]
Transmisi Mycobacterium Leprae
Bakteri Mycobacterium leprae ditularkan dengan kontak dekat dan lama antara individu yang rentan dengan pasien yang terinfeksi melalui sekresi nasal atau droplet. Rute transmisi utama adalah sekresi nasal. Selain itu, transmisi juga dapat terjadi melalui erosi kulit. [3,4] Rute transmisi lain seperti darah, transmisi vertikal, ASI dan gigitan serangga, juga mungkin terjadi walaupun jarang. [3]
Individu yang tinggal di daerah endemis dapat terinfeksi Mycobacterium leprae walaupun tidak menderita penyakit lepra. Hal ini ditandai dengan adanya DNA Mycobacterium leprae di biopsi hidung dan seropositif terhadap antigen bakteri pada individu yang sehat yang tinggal di daerah endemis. [5]
Peran Faktor Genetik
Faktor genetik diduga berpengaruh terhadap perkembangan penyakit lepra. Studi genetik mengidentifikasi mutasi pada regio kromosom 6p21, 17q22, 20p13 dan 10p13 berhubungan dengan lepra. [6] Oleh karena itu, hanya sekitar 5 – 10% populasi yang diestimasi rentan terhadap infeksi.
Peran Imunitas Seluler
Manifestasi klinis lepra dipengaruhi oleh sistem imunitas seluler pasien terhadap Mycobacterium leprae. Pertahanan pertama pada saat infeksi Mycobacterium leprae adalah imunitas alamiah yang diwakili oleh integritas epitel, sekresi IgA, sel NK (natural killer), dan makrofag yang teraktivasi. Sitokin dan kemokin inflamasi dapat mengarahkan proliferasi menjadi limfosit Th1 atau Th2. Respon ini akan menentukan perjalanan penyakit menjadi tuberkuloid atau lepromatous.
Pada lesi tuberkuloid ditemukan dominasi limfosit T CD4+, sedangkan pada lesi lepromatous ditemukan dominasi limfosit T CD8+.[7] Tingkat TNF-α ditemukan lebih tinggi pada serum pasien tuberkuloid, menandakan adanya destruksi Mycobacterium leprae dan pembentukan granuloma. TNF-α berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan gejala eritema nodosum leprosum (ENL). Pada tipe lepromatous terdapat peningkatan sitokin TGF-β, sitokin ini dapat menghambat aktivasi makrofag. [3]
Manifestasi klinis lebih bergantung pada sistem imunitas seluler pasien dibandingkan penetrasi dan kemampuan replikasi bakteri. Manifestasi klinis dapat terjadi setelah masa inkubasi yang lama yaitu 6 bulan sampai 20 tahun. Seropositif terhadap antigen Mycobacterium leprae dapat ditemukan 9 tahun sebelum terdapat gejala klinis. Masa inkubasi Mycobacterium leprae yang lama disebabkan oleh proliferasi yang lambat, antigenisitas yang rendah serta limitasi metabolik. [8]
Reaksi Lepra
Selain manifestasi klinis, infeksi bakteri Mycobacterium leprae juga dapat menyebabkan reaksi lepra. Reaksi lepra dibagi menjadi 2 yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2.
Reaksi tipe 1 ditandai dengan kemerahan di kulit dan lesi baru yang muncul tiba-tiba. Reaksi tipe 2 dikenal juga dengan Eritema Nodosum Leprosum (ENL) yang ditandai dengan banyak nodul kulit, demam, mata merah, nyeri otot dan nyeri sendi.
Pada reaksi tipe 1, terdapat peningkatan respon imun seluler Th1 seperti sitokin IL-1, TNF-α, IL-2 dan IFN-γ. Sedangkan pada reaksi tipe 2, terdapat peningkatan respon imun Th2 yang ditandai dengan peningkatan IL-6, IL-8 dan IL-10. [7]