Patofisiologi Gangguan Bipolar
Patofisiologi gangguan bipolar belum jelas, tetapi berhubungan dengan neurotransmitter katekolamin. Penelitian biokimia menunjukkan bahwa patofisiologi gangguan bipolar melibatkan interaksi antara berbagai neurotransmitter dan hormon. Episode manik diperkirakan dipicu oleh kelebihan neurotransmiter katekolamin, sedangkan depresi akibat kekurangan neurotransmiter katekolamin.[5,6]
Jaras–jaras neuronal yang terlibat dalam patofisiologi gangguan bipolar diperkirakan adalah sistem dopaminergik, jaras sitokin inflamatorik, stress oksidatif dan nitrosatif, disfungsi mitokondria, stress retikulum endoplasma, perubahan pada jaras cAMP response element–binding protein (CREB) dan sistem neurotrofik, neuroinflamasi, jaras triptofan, dan disregulasi aksis hipotalamus–hipofisis (pituitary)--adrenal (HPA).[7]
Penelitian neuroanatomi dan neuroimaging menunjukkan bahwa lesi–lesi di area frontal dan temporal berhubungan dengan gangguan bipolar sebagai gangguan mood. Lesi di sebelah kiri banyak berhubungan dengan episode depresi, sedangkan lesi di sebelah kanan banyak berhubungan dengan episode manik.
Walaupun demikian, belum ada temuan neuroanatomi yang dilaporkan konsisten berhubungan dengan gangguan bipolar. Penelitian neuroimaging menemukan adanya pembesaran ventrikel, penurunan grey matter pada area hipokampus, fusiform, dan cerebellum setelah episode manik. Sering juga ditemukan penurunan grey matter pada sisi rostral kiri korteks cinguli anterior dan korteks fronto–insular kanan.[5,7]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli