Penatalaksanaan Pneumonia Aspirasi
Penatalaksanaan pneumonia aspirasi meliputi penanganan triase awal, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga status hidrasi dan oksigenasi. Selain itu, dokter perlu memperhatikan strategi pemberian nutrisi yang adekuat serta memberikan latihan teknik menelan dan batuk yang efektif untuk mencegah aspirasi lebih lanjut.[1,2]
Penatalaksanaan Awal
Penatalaksanaan awal dimulai dengan stabilisasi airway, breathing, circulation (A-B-C). Suction orofaring dapat mengurangi aspirat di saluran pernapasan atas. Suction trakea dilakukan untuk mengeluarkan aspirat yang lebih dalam. Oksigenasi, monitor oksimetri dan monitor jantung dapat dilakukan. Pasien diposisikan agar setengah duduk dengan bagian kepala tempat tidur dinaikkan membentuk sudut 45°.[2,3]
Oksigen diberikan dengan target SpO2 94-98%, tetapi pada pasien dengan gagal napas hiperkapnea seperti pada penyakit neuromuskular, kifoskoliosis, obesitas, atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), oksigen diberikan dengan target SpO2 88-92%.[1,2]
Intubasi perlu dipertimbangkan dengan menilai oksigenasi pasien, tingkat kesadaran, peningkatan upaya napas, atau tanda-tanda gagal napas secara berkala. Pemasangan kateter intravena dan pemberian cairan intravena beserta elektrolit dilakukan untuk menjaga status hemodinamik dan status hidrasi.[2,3]
Pasien dengan pneumonia aspirasi perlu dirawat inap karena perjalanan penyakit dan prognosis yang tidak tentu. Pasien dengan status hemodinamik dan pernapasan yang stabil dapat dirawat di ruang biasa. Saturasi oksigen, nadi, tekanan darah, dan suhu tubuh perlu dimonitor secara berkala sehingga jika terjadi perburukan akan dapat terdeteksi dengan cepat. Pasien dengan kondisi hemodinamik buruk dan/atau distres pernapasan menetap perlu dirawat di intensive care unit (ICU). Ventilasi mekanik diperlukan pada insufisiensi respirasi akibat pneumonia aspirasi.[1,3]
Pemberian Antibiotik
Hingga saat ini, tidak ada regimen antibiotik yang mutlak untuk pneumonia aspirasi. Pemilihan regimen antibiotik akan tergantung pada epidemiologi lokal setiap daerah, probabilitas bakteri pada community-acquired aspiration pneumonia (CAAP) maupun hospital-acquired aspiration pneumonia (HAAP), derajat keparahan, dan ada tidaknya rontgen toraks abnormal.[1,3,7]
Selain itu, dokter mempertimbangkan faktor risiko pasien, faktor risiko patogen resistan, faktor risiko intervensi (riwayat penggunaan antibiotik, kortikosteroid, agen sitotoksik, atau pemasangan endotracheal tube), dan durasi rawat inap.[1,3,7]
Sampel kultur sebaiknya diambil sebelum terapi antibiotik dimulai, tetapi terapi empiris dimulai tanpa menunggu hasil kultur. Regimen antibiotik dapat diubah sesuai patogen yang ditemukan pada kultur.[1,2,3]
Pilihan Regimen Antibiotik Berdasarkan Keparahan Penyakit dan Komorbiditas
Pada pasien dengan pneumonia aspirasi ringan-sedang tanpa komorbiditas dan tanpa faktor risiko keterlibatan bakteri anaerob maupun tanda-tanda toksik, dokter dapat memilih antara amoxicillin, doxycycline, macrolide (azithromycin atau clarithromycin), atau kombinasi ceftriaxone dengan azithromycin, atau levofloxacin atau moxifloxacin. Obat golongan macrolide hanya digunakan pada daerah dengan resistansi regional terhadap macrolide <25%.[2,3]
Pada pasien dengan riwayat rawat inap dalam waktu dekat yang memiliki tanda-tanda toksik dan memiliki komorbiditas (penyakit paru, jantung, maupun hati kronis, gagal ginjal, diabetes, alkoholisme, asplenia) kemungkinan organisme resistan meningkat. Selain itu, pasien yang mengalami pneumonia ringan-sedang dengan keganasan atau pneumonia berat yang terjadi beberapa hari setelah terpasang ventilasi mekanik juga memiliki peningkatan kemungkinan organisme resistan. Pasien-pasien dengan risiko ini memerlukan antibiotik dengan spektrum yang lebih luas.[2,3]
Pilihan antibiotik yang dapat digunakan untuk pasien dengan peningkatan kemungkinan resistansi tersebut adalah amoxicillin-clavulanate, cephalosporin (cefpodoxime atau cefuroxime) dikombinasikan dengan macrolide (azithromycin atau clarithromycin) atau doxycycline, fluoroquinolone (levofloxacin atau moxifloxacin), imipenem, vancomycin, atau kombinasi aminoglikosida dengan penicillin antipseudomonas.[2,3]
Antibiotik empiris diberikan sambil mengevaluasi perbaikan klinis dan menunggu hasil kultur. Setelah hasil kultur didapatkan, regimen antibiotik disesuaikan. Apabila tidak ada pertumbuhan mikroba pada kultur, pemberian antibiotik dapat dihentikan.[1,3]
Selama terapi antibiotik, monitor respons pasien terhadap terapi, yaitu perbaikan gejala, perbaikan oksigenasi, dan perbaikan tanda vital. Apabila ada perbaikan klinis, terapi antibiotik diberikan selama 5 hari. Durasi yang lebih panjang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan respons klinis lambat, pneumonia nekrotikans, abses paru, atau empiema. Namun, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali kemungkinan penyakit non-infeksi lain atau adanya komplikasi.[1-3]
Gambar 1. Algoritme Terapi Community-Acquired Aspiration Pneumonia. Sumber: Putri Kumala Sari, 2024.
Gambar 2. Algoritme Terapi Hospital-Acquired Aspiration Pneumonia. Sumber: Putri Kumala Sari, 2024.
Antibiotik Anti-Anaerobik
Antibiotik yang mempunyai aktivitas anti-anaerobik tidak selalu diberikan dalam terapi empiris pneumonia aspirasi karena patogen anaerob lebih jarang ditemukan. Antibiotik anti-anaerobik hanya diberikan pada:
- Sindrom pleuropulmonal aspirasi klasik di mana pasien memiliki riwayat penurunan kesadaran (overdosis obat, alkohol, kejang)
- Risiko tinggi infeksi bakteri anaerobik, seperti penyakit gigi dan periodontal, sputum yang bau, atau dicurigai empiema atau abses paru
- Gangguan motilitas esofagus[1,2]
Antibiotik anti-anaerobik yang bisa dipakai yaitu amoxicillin-clavulanate atau kombinasi piperacillin-tazobactam, atau levofloxacin-metronidazole, atau clindamycin.[1,2]
Dosis Antibiotik
Obat sebaiknya diberikan secara intravena jika ada gangguan menelan. Obat dapat diberikan peroral kembali jika ada perbaikan klinis dan pasien dapat menelan dengan aman. Obat dapat diberikan dalam bentuk cairan atau suspensi jika pasien kesulitan menelan tablet. Berikut dosis antibiotik yang dapat diberikan dalam terapi pneumonia aspirasi.[1,2]
Amoxicillin:
Dosis dewasa diberikan 1 gram 3x sehari secara intravena atau peroral. Dosis anak dengan berat badan <40 kg diberikan 20-90 mg/kg/hari dalam dosis terbagi peroral atau 20-200 mg/kg/hari terbagi dalam 2-4 dosis secara intravena.[9]
Amoxicillin+Clavulanic Acid:
Dosis dewasa 500 mg/125 mg 3x sehari atau 875 mg/125 mg 2x sehari atau 2.000 mg/125 mg 2x sehari peroral, ATAU 1.000 mg/200 mg/8 jam secara intravena. Dosis anak usia ≤6 tahun dengan berat badan <40 kg diberikan 20 mg/5 mg/kg/hari hingga 60 mg/15 mg/kg/hari dalam 3 dosis oral terbagi, atau 25 mg/5 mg/kg/8 jam intravena.[10]
Ampicillin+Sulbactam:
Dosis dewasa diberikan 1.500-3.000 mg/6 jam secara intravena atau intramuskular. Dosis anak dengan berat badan <40 kg diberikan 100 mg/50 mg /kg/6-8 jam secara intravena.[11]
Piperacillin+Tazobactam:
Dosis dewasa diberikan 4.000 mg/500 mg atau 3.000 mg/375 mg/6 jam intravena. Dosis anak usia >9 bulan dengan berat badan ≤40 kg diberikan 100 mg/12.5 mg/kg/6 jam secara intravena. [12]
Doxycycline:
Dosis dewasa diberikan 100 mg 2x sehari peroral atau intravena. Dosis anak usia >8 tahun dengan berat ≤45 kg diberikan 2,2 mg/kg/12-24 jam peroral atau intravena.[13]
Azithromycin:
Dosis dewasa diberikan 500 mg 1x sehari peroral pada hari pertama, dilanjutkan 250 mg 1x sehari peroral, ATAU 500 mg dosis tunggal secara intravena pada hari pertama, dilanjutkan dosis oral. Dosis anak usia ≥6 bulan diberikan 10 mg/kg dosis tunggal peroral pada hari pertama, dilanjutkan 5 mg/kg 1x sehari peroral.[14]
Clarithromycin:
Dosis dewasa diberikan 500 mg 2x sehari peroral atau intravena. Dosis anak usia <12 tahun diberikan 7,5 mg/kg 2x sehari peroral.[15]
Clindamycin:
Dosis dewasa diberikan 600-1,200 mg/hari terbagi dalam 2-4 dosis secara intravena atau 150-300 mg/6jam peroral. Dosis anak usia ≥1 bulan diberikan 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis secara intravena atau 8-12 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi peroral.[16]
Vancomycin:
Dosis dewasa diberikan 15-20 mg/kg/8-12 jam secara intravena. Dosis anak usia 1 bulan-12 tahun diberikan 10-15 mg/kg/6 jam secara intravena.[17]
Ceftriaxone:
Dosis dewasa diberikan 1-2 gram 1x sehari secara intravena. Dosis anak 15 hari-12 tahun dengan berat badan <50 kg diberikan 50-80 mg/kg 1x sehari intravena.[18]
Cefpodoxime:
Dosis dewasa diberikan 200 mg 2x sehari peroral. Dosis anak usia 15 hari-11 tahun diberikan 4 mg/kg/12 jam peroral.[19]
Cefuroxime:
Dosis cefuroxime dewasa diberikan 750 mg/8 jam secara intravena. Dosis anak usia >3 minggu dengan berat badan <40 kg diberikan 30-100 mg/kg/hari terbagi dalam 3-4 dosis secara intravena.[20]
Cefepime:
Dosis cefepime dewasa diberikan 1-2 gram/12 jam secara intravena. Dosis anak usia >2 bulan dengan berat badan ≤40 kg diberikan 50 mg/kg/12 jam secara intravena.[21]
Levofloxacin:
Dosis dewasa diberikan 750 mg 1x sehari peroral atau intravena.[22]
Moxifloxacin:
Dosis dewasa diberikan 400 mg 1x sehari peroral atau intravena.[23]
Metronidazole:
Dosis dewasa diberikan 500 mg/8 jam secara intravena, ATAU 800 mg peroral pada hari pertama, dilanjutkan 400 mg/8 jam peroral. Dosis anak usia >8 minggu-12 tahun diberikan 7,5 mg/kg/8 jam peroral atau intravena.[24]
Imipenem:
Dosis dewasa diberikan 500-750 mg/12 jam secara intravena. Dosis anak usia >3 bulan dengan berat badan <40 kg diberikan 15-25 mg/kg/6 jam secara intravena.[25]
Meropenem:
Dosis meropenem dewasa diberikan 0,5-1 gram/8 jam secara intravena. Dosis anak yang berusia ≥3 bulan dengan berat badan ≤50 kg diberikan 10-20 mg/kg/8 jam secara intravena.[26]
Ertapenem:
Dosis dewasa diberikan 1 gram 1x sehari intravena atau intramuskular. Dosis anak 3 bulan-13 tahun diberikan 15 mg/kg 2x sehari secara intravena atau intramuskular.[27]
Pemberian Terapi Suportif
Pemberian terapi suportif meliputi perbaikan hidrasi dan nutrisi, manajemen gangguan menelan, dan fisioterapi respirasi.[1,2]
Hidrasi dan Nutrisi
Status hidrasi perlu dinilai secara berkala dan diberikan cairan sesuai kebutuhan dan respons pasien. Selain itu, status nutrisi juga perlu diperhatikan. Pneumonia aspirasi berkaitan dengan status katabolik. Strategi nutrisi yang adekuat perlu direncanakan bersama ahli gizi dan ahli terapi wicara.[1,2,5]
Konsultasi dengan ahli terapi wicara terutama diperlukan untuk evaluasi fungsi menelan pada pasien dengan stroke atau faktor risiko aspirasi lainnya. Jika ditemukan gangguan menelan, ahli terapi wicara akan memberikan perencanaan kompensasi diet dengan makanan lunak dan cairan kental.[1,2,3,5]
Manajemen Gangguan Menelan
Gangguan menelan perlu ditata laksana untuk mencegah episode aspirasi lebih lanjut. Pemberian makan enteral dilakukan pada pasien dengan gangguan menelan yang berisiko mengalami aspirasi. Pemasangan nasogastric tube (NGT) dini (dalam 3 hari) bisa meningkatkan status gizi dan luaran klinis. Percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG) perlu dipertimbangkan jika gangguan menelan dengan risiko tinggi aspirasi menetap dan selang nasogastrik (NGT) tidak dapat ditoleransi dengan baik.[1,2,5]
PEG atau NGT bisa dicabut jika ada perbaikan. Penilaian fungsi menelan, rehabilitasi untuk restorasi mekanisme menelan dan batuk yang efektif, serta terapi wicara untuk memperkuat otot menelan perlu dilakukan. Upaya meningkatkan mekanisme menelan yang efektif dan memantau pemberian makanan dilakukan secara berkala.[1,2,5]
Fisioterapi Respirasi
Fisioterapi respirasi dilakukan jika ada sekret atau temuan atelektasis pada rontgen toraks. Tujuannya adalah membersihkan sekret dan melebarkan area atelektasis untuk memperbaiki oksigenasi. Fisioterapi respirasi dapat mengencerkan sekret ke saluran pernapasan yang lebih sentral agar dapat dikeluarkan dengan melakukan batuk. Pada pasien dengan kelemahan otot pernapasan, teknik batuk perlu ditingkatkan. Fisioterapi respirasi dapat dilanjutkan hingga tidak ada lagi sekret maupun atelektasis.[1,2]
Tindakan Invasif
Bronkoskopi fleksibel diindikasikan untuk aspirasi jumlah besar untuk membersihkan sekret. Selain itu, bronkoskopi juga bisa mendapatkan sampel bronkoalveolus untuk pemeriksaan bakteriologi kuantitatif.[2,3]
Konsultasi dengan spesialis bedah toraks diperlukan pada pasien pneumonia bakterial dengan komplikasi empiema (drainase terbuka atau tertutup, dekortikasi). Pemasangan chest tube dapat dilakukan untuk drainase empiema ataupun efusi pleura. Pembedahan hanya dilakukan jika terjadi komplikasi.[1,2,3,5]
Tata Laksana Setelah Rawat Inap
Pasien dapat dipulangkan dari rumah sakit jika sudah mengalami perbaikan klinis dan mencapai stabilitas klinis (tidak demam, tidak leukositosis, ada perbaikan hipoksemia), serta telah menunjukkan perbaikan gambaran radiologi (penurunan infiltrat atau ukuran kavitas, dan tidak ada efusi pleura).[3]
Pasien dengan pneumonia aspirasi memiliki risiko tinggi gangguan menelan yang terus berlanjut dan berisiko pneumonia aspirasi berulang, sehingga rehabilitasi, pemberian nutrisi, dan kebersihan oral perlu ditegaskan setelah pasien selesai perawatan di rumah sakit.[1,5]
Pasien dengan infeksi bakteri anaerob yang mengalami komplikasi empiema ataupun abses paru membutuhkan terapi antibiotik jangka panjang, sehingga kontrol rawat jalan diperlukan.[2,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Vania Azalia Gunawan