Komplikasi Metode Penjahitan Kulit
Komplikasi metode penjahitan kulit atau suturing adalah wound dehiscence, hematoma, infeksi tanpa wound dehiscence, skating dan fibrosis, reaksi terhadap jahitan, kegagalan ligasi pembuluh darah, dan local anesthetic systemic toxicity (LAST).[6,18,23,32,35]
Wound Dehiscence
Wound dehiscence adalah keadaan dimana jaringan yang tadinya sudah mengalami aposisi oleh penjahitan menjadi terpisah. Keadaan ini bisa disebabkan oleh infeksi sekunder, kesalahan teknik maupun alat dan bahan, dead space, dan imobilisasi yang tidak adekuat.[35]
Kesalahan teknik maupun alat dan bahan antara lain adalah jahitan yang terlalu dekat dengan tepi luka, membentuk simpul yang tidak adekuat, memberikan tekanan yang terlalu kuat (menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan) atau terlalu lemah, serta melepas jahitan terlalu cepat. Selain itu, pilihan jarum dengan diameter terlalu besar juga dapat berisiko cut-through dan menyebabkan dehiscence.[35]
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pencegahan infeksi sekunder seperti tindakan asepsis dan antisepsis, pemberian dressing dan antibiotik sesuai keperluan, memilih teknik dan bahan sesuai klinis, memberikan drain untuk luka yang dalam (sekaligus mencegah hematoma), dan mengurangi pergerakan pada area lesi.[33,35]
Infeksi Luka Operasi (ILO) Tanpa Wound Dehiscence
Infeksi luka operasi (ILO) terbagi menjadi 3 klasifikasi, yakni ILO insisi superfisial, ILO insisi dalam, dan ILO pada organ. Infeksi luka operasi berisiko menyebabkan wound dehiscence karena adanya enzim proteolitik yang diproduksi bakteri dan mengganggu penyembuhan luka.[19,35]
Manifestasi klinis dari ILO yakni keluar nanah purulen dari luka jahitan operasi, nyeri, indurasi, eritema, luka teraba panas, dan demam. Seringkali ILO muncul dalam 30 hari pertama pasca operasi.
Infeksi dapat dicegah dengan tindakan yang telah dibahas sebelumnya, seperti mengidentifikasi terlebih dahulu luka yang terkontaminasi atau tidak untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan penjahitan secepatnya. Selain itu, tindakan irigasi pada luka >1 cm, asepsis dan antisepsis, melakukan pembersihan luka secara berkala, serta pemberian antibiotik secara rasional juga dapat mencegah infeksi sekunder. Akan tetapi, pemberian antibiotik tidak diberikan pada semua kasus penjahitan.[19,33-35]
Pertimbangan Pemberian Antibiotik Profilaksis:
Pada luka laserasi yang kecil di tubuh bagian atas dan laserasi simpel, maka belum ada bukti yang menyatakan bahwa pemberian antibiotik profilaksis memberikan benefit. Luka yang tergolong luka bersih yang dapat langsung dijahit tidak diperlukan pemberian antibiotik profilaksis.
Akan tetapi, pada kasus fraktur terbuka, pemberian antibiotik profilaksis dinilai benefisial. Pada pasien operasi, luka yang tergolong luka bersih dan tidak terkontaminasi, tanpa tanda inflamasi, dan tidak menyebabkan luka pada sistem respirasi, gastrointestinal, serta genitourin, serta pada pasien yang tidak didapatkan luka perforasi, maka antibiotik profilaksis tidak diperlukan.[19,36]
Reaksi Terhadap Jahitan
Reaksi terhadap jahitan adalah reaksi inflamasi lokal pada area yang dilakukan penjahitan karena materi yang digunakan pada saat prosedur. Reaksi inflamasi ini dapat disebabkan karena alergi materi penjahitan, ukuran benang terlalu besar, serta teknik penjahitan yang tidak tepat.[35]
Pencegahan hal ini dapat dilakukan dengan anamnesis riwayat alergi, pemilihan materi seperti benang dengan ukuran yang sesuai, serta menguasai teknik penjahitan yang benar oleh tenaga kesehatan.[35]
Local Anesthetic Systemic Toxicity (LAST)
Local anesthetic systemic toxicity (LAST) adalah keadaan yang mengancam nyawa karena konsentrasi agen anestesi lokal di plasma yang tinggi. Biasanya kondisi ini tanpa disadari dilakukan oleh operator, terutama pada pasien dengan laserasi multipel pada kulit. Hal ini bisa disebabkan karena pemberian dosis yang berlebih, klirens obat yang lama, atau kesalahan penyuntikan ke pembuluh darah. Manifestasi klinisnya berupa lidah kebas atau parestesia, pusing, mati rasa circumoral, tinnitus hingga pandangan kabur.[16,18]
Penanganan yang dapat diberikan untuk kondisi LAST adalah dengan stabilisasi hemodinamik (airway, breathing, circulation). Selain itu, pada pasien dengan LAST, kejang dapat terjadi karena toksisitas terhadap sistem saraf pusat, sehingga mungkin diperlukan antikonvulsan.[18]
Pada penanganan sirkulasi, dapat dipasang akses intravena, dan berikan cairan 20% lipid emulsion bolus 100 cc dalam waktu 2-3 menit, lalu ulangi pemberian 200-250 cc selama 15-20 menit. Apabila stabilisasi hemodinamik belum tercapai, pemberian bolus kembali sampai 2 kali lagi masih dapat ditolerir, atau diberikan secara infus dengan kecepatan 0.5 cc/kg/menit (dosis maksimum 12 cc/kgBB).[18]
Apabila pasien mengalami kejang, maka pemberian benzodiazepin dapat dipertimbangkan. Hindari penggunaan propofol karena dapat mengganggu sistem kardiovaskular. Apabila pasien mengalami henti jantung, maka langkah selanjutnya adalah resusitasi jantung paru sesuai pedoman dari Advanced Cardiac Life Support.[14,16]
Komplikasi Lain
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah terbentuknya jaringan parut akibat penjahitan yang tidak benar, terjadinya hipertrofi jaringan parut atau keloid pada individu tertentu, tanda bekas jahitan, dan nekrosis pada luka. Komplikasi ini dapat dicegah dengan teknik penjahitan yang baik dan benar.[1,19-20]
Profilaksis Tetanus
Profilaksis tetanus dapat diberikan dalam vaksin tetanus dan/atau tetanus imunoglobulin. Tetanus imunoglobulin hanya diberikan pada luka yang berisiko tinggi terkena tetanus. Luka selain luka minor yang bersih, dianggap sebagai luka yang rentan terkena tetanus. Definisi luka bersih adalah luka yang bersifat non-penetrating, dengan kerusakan jaringan minimal.
Pasien yang hanya mendapat vaksinasi primer tetanus (tiga dosis) perlu diberikan dosis booster jika vaksinasi terakhir dilakukan lebih dari 5 tahun untuk luka rentan tetanus dan lebih dari 10 tahun untuk luka bersih. Pada pasien dengan vaksinasi primer tidak lengkap atau belum mendapat vaksinasi primer, berikan vaksinasi tetanus sesuai dengan dosis pemberian vaksin.[37-39]
Penulisan pertama oleh: dr. Riawati MMedPH