Pendahuluan Electroconvulsive Therapy
Electroconvulsive Therapy atau ECT adalah tindakan medis yang efektif pada pasien dengan depresi berat, depresi dengan resistensi terapi, katatonia, atau episode manik yang resisten obat. Mekanisme ECT belum diketahui secara pasti. Namun, pemberian arus listrik lemah pada otak dipercaya dapat mempengaruhi komponen sistem saraf pusat, termasuk hormon, neuropeptida, faktor neurotropik dan neurotransmitter dan memberikan efek terapeutik pada pasien diatas.[1,2]
Electroconvulsive therapy (ECT) pertama kali diperkenalkan oleh Bini dan Cerletti pada tahun 1938. Mereka menggunakan arus listrik untuk menginduksi kejang sebagai terapi untuk skizofrenia. Stimulasi kejang dilakukan dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan tepat di atas lobus temporal.[3]
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk ECT, namun ada beberapa kontraindikasi relatif yang harus dipertimbangkan sebelum melakukan ECT. Telaah sistemik menunjukkan bahwa ECT lebih efektif dari farmakoterapi.[3-5]
ECT dilakukan dengan menempatkan elektroda bilateral di atas lobus temporalis pada pasien yang berbaring terlentang tanpa bantal. Stimulus listrik diberikan setelah dilakukan tindakan anestesi. Target stimulus adalah kejang dengan durasi 15‒120 detik. Selama kejang, dilakukan monitoring tanda vital, EKG, dan EEG.[6]
ECT dapat menimbulkan komplikasi sistem saraf pusat maupun komplikasi fisik. Kejang pasca ECT yang melebihi 120 detik disebut kejang yang berkepanjangan (prolonged), sehingga pengerjaan ECT membutuhkan monitoring.[1] ECT bisa menimbulkan efek samping fisik dan neurologis. Namun umumnya efek samping yang timbul berjangka pendek dan tidak membutuhkan intervensi.[6]