Pendahuluan Pyoderma
Pyoderma merupakan infeksi kulit akibat bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, atau gabungan keduanya. Terdapat berbagai jenis pyoderma, tetapi yang paling sering ditemukan adalah folikulitis dan impetigo.[1,2]
Pyoderma dapat diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Pyoderma primer terjadi akibat infeksi langsung pada kulit yang utuh, sedangkan pyoderma sekunder terjadi akibat adanya dermatosis sebelumnya. Pyoderma primer dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi folikuler dan non-folikuler. Pyoderma folikuler mencakup folikulitis, furunkel, dan karbunkel. Pyoderma non-folikuler mencakup impetigo, erisipelas, dan selulitis.
Sementara itu, The Infectious Diseases Society of America (IDSA) mengklasifikasikan pyoderma berdasarkan luas keterlibatan kulit. Infeksi non-komplikata superfisial mencakup impetigo, ektima, erisipelas, folikulitis, dan furunkulosis. Sementara itu, infeksi komplikata mencakup abses, selulitis, dan karbunkel.[1]
Pyoderma biasanya dialami anak usia 2-6 tahun. Kasus pada dewasa cukup jarang ditemukan. Kontak erat dengan penderita pyoderma, kepadatan tempat tinggal, kondisi yang lembab dan panas, serta hygiene yang buruk menjadi faktor predisposisi terjadinya penyakit.[1-4]
Diagnosis pyoderma dapat ditegakkan secara klinis. Lesi impetigo bulosa diawali dengan vesikel yang disertai peradangan di sekitarnya, kemudian akan menjadi berisi pus dan pecah, lalu mengering dan membentuk krusta kekuningan seperti madu. Predileksi utama di area sekitar hidung dan mulut. Di sisi lain, impetigo bulosa menunjukkan lesi berupa bula yang berisi pus, yang bila pecah akan menampilkan bentuk bula kolaret dengan dasar eritematosa. Predileksi di area seperti ketiak, dada, dan punggung.
Folikulitis ditandai dengan papul atau pustul yang disertai adanya rambut di bagian tengahnya. Sementara itu, furunkel merupakan peradangan pada area sekitar folikel yang meluas hingga jaringan subkutan. Karbunkel adalah kumpulan furunkel dalam satu area. Di lain pihak, ektima adalah infeksi hingga dermis sehingga menimbulkan ulkus tepi meninggi superfisial disertai krusta.
Pada erisipelas, lesi terjadi pada lokasi dengan riwayat trauma, yang ditandai dengan eritema berwarna merah cerah dengan batas tegas dan pinggir meninggi. Selulitis adalah infeksi kulit yang mirip dengan erisipelas, namun sudah melibatkan jaringan subkutan. Sementara itu, flegmon adalah terminologi untuk selulitis yang telah mengalami supurasi.[1,6]
Terapi pyoderma adalah pemberian antibiotik, baik topikal ataupun oral sesuai jenis pyoderma yang dialami. Pemilihan antibiotik didasarkan pada sensitivitas dan pola resistensi lokal. Pada banyak kasus, antibiotik beta laktam, sefalosporin, cotrimoxazole, dan clindamycin efektif untuk pyoderma. Meski demikian, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) kini telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan di seluruh dunia.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Edwin Wijaya
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta