Penatalaksanaan Gigantisme dan Akromegali
Penatalaksanaan gigantisme dan akromegali bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan tumor, menurunkan kadar growth hormone (GH) dan insulin like growth factor-1 (IGF-1), mengurangi gejala-gejala dan komorbiditas, meningkatkan kualitas hidup pasien, serta mencegah kematian dini. Modalitas yang ada saat ini meliputi pembedahan, farmakoterapi, dan radioterapi.[6]
Pada pasien yang hamil, akromegali berisiko menimbulkan gangguan maternal dan fetus. Selain itu, kehamilan juga berisiko meningkatkan ukuran tumor pituitari pada pasien akromegali yang memiliki adenoma pituitari. Oleh karena itu, penatalaksanaan pasien akromegali yang hamil membutuhkan pembahasan terpisah yang lebih detail.
Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi lini pertama pada mikroadenoma. Pembedahan juga dilakukan pada makroadenoma dengan gejala kompresif dan dapat disembuhkan dengan pembedahan, atau yang tidak dapat disembuhkan tetapi bermanfaat untuk mengurangi ukuran tumor dan memfasilitasi respons terapi tambahan.[6]
Pembedahan transsphenoidal merupakan pendekatan utama dengan mengakses tumor dari sinus sfenoid dan melakukan reseksi dasar selar, baik melalui pendekatan pernasal maupun sublabial. Tumor yang berekstensi suprasellar juga dapat diangkat dengan pendekatan ini.[3,12]
Komplikasi pascaoperasi termasuk diabetes insipidus dan defisiensi hipofisis anterior. Setelah operasi, kadar IGF-1 dan GH perlu diukur pada minggu ke-12. untuk menormalisasi IGF-1 dan GH sampai pada tingkat yang tidak terdeteksi.[3,12]
Farmakoterapi
Modalitas farmakoterapi yang digunakan untuk pengobatan persisten setelah pembedahan adalah agonis dopamin, somatostatin receptor ligand (SRL), antagonis reseptor GH. Indikasi pemberian farmakoterapi adalah:
- Pengobatan utama bagi pasien yang memiliki risiko pembedahan signifikan, kemungkinan penyembuhan rendah karena tumor memiliki ekstensi suprasellar tanpa kompresi kiasma, dan/atau menolak pembedahan dan memilih perawatan medis.
- Pengobatan tambahan setelah kegagalan operasi, atau dalam masa tunggu hingga radioterapi menjadi efektif.
- Pengobatan sebelum operasi untuk memperbaiki kondisi anestesi pada pasien atau hasil operasi itu sendiri, atau pada pasien yang operasinya tertunda[6]
Agonis Dopamine
Agonis dopamine diindikasikan untuk kasus ringan, di mana GH dan IGF-1 sedikit meningkat. Pemberian dilakukan peroral dan biaya obat relatif rendah.[3,12]
Cabergoline adalah agonis reseptor D2 yang bekerja pada reseptor D2 di somatotrof, dan menurunkan sekresi GH. Sebuah studi meta analisis oleh Sandret et al menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari 170 pasien yang mencapai kadar IGF-1 normal dengan monoterapi cabergoline. Efek samping dari cabergoline termasuk pusing, mual, muntah, dan hipotensi postural.[3,12]
Somatostatin Receptor Ligand (SRL)
Peran utama ligan reseptor somatostatin adalah sebagai terapi tambahan untuk radiasi setelah operasi, yang dapat digunakan untuk mengurangi ukuran tumor atau meningkatkan fungsi kardiovaskular sebelum operasi. Mekanisme SRL mirip dengan aksi somatostatin dan menghambat sekresi GH.[3,12]
Contoh generasi pertama SRL adalah octreotide, yang terikat pada reseptor somatostatin manusia tipe 2. Dosis octreotide adalah 100‒200 mg secara injeksi subkutan, diberikan 3 kali/hari.[3,12]
SRL kerja panjang telah tersedia dalam bentuk octreotide LAR dan lanreotide. Keduanya memiliki khasiat yang sama dalam menekan kadar GH dan menormalkan kadar IGF-1. Octreotide LAR diberikan dengan dosis 10‒30 mg subkutan, setiap empat minggu. Sedangkan dosis lanreotide diberikan 120 mg subkutan, setiap empat minggu.[3,12]
Efek samping SRL adalah nyeri abdomen, mual, flatulens, diare, dan hiperglikemia. Contoh analog somatostatin generasi kedua adalah pasireotide.[3,12]
Antagonis Reseptor Growth Hormone
Contoh obat antagonis reseptor GH adalah pegvisomant. Salah satu bagian mekanisme kerja GH adalah berikatan dengan reseptornya pada dua tempat berbeda, dan memicu dimerisasi yang mengaktifkan mekanisme pensinyalan pasca-reseptor. Pegvisomant mengikat ke situs pengikatan pertama dan mencegah dimerisasi dan pensinyalan pasca reseptor.[3,12]
Dosis pegvisomant diberikan 10‒30 mg subkutan setiap hari. Studi oleh Trainer PT et al. pada 152 pasien menunjukkan normalisasi IGF-1 pada 90% pasien yang diobati dengan pegvisomant selama 18 bulan. Kekurangan obat ini adalah biaya yang tinggi, sehingga sebaiknya diberikan terbatas pada pasien yang tidak respons terhadap SRL, atau memiliki komorbiditas diabetes mellitus dan hiperglikemia yang memburuk dengan SRL.[3,12]
Terapi Radiasi
Radioterapi merupakan terapi lini ketiga untuk pasien yang tidak terkontrol setelah pembedahan, tidak respons terhadap farmakoterapi, atau sering juga digunakan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan penyakit persisten setelah operasi. Radioterapi jarang digunakan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien yang tidak layak untuk operasi. Dua modalitas terapi radiasi yang umum digunakan adalah iradiasi eksternal dan iradiasi stereotaktik tunggal dosis tinggi.[3,12]
Iradiasi Eksternal
Teknik ini bekerja dengan cara radiasi akselerator linier yang difokuskan pada fossa hipofisis. Untuk mengurangi paparan radiasi ke jaringan sekitarnya, CT atau MRI digunakan sebagai dosimetri.[3,12]
Total dosis radiasi yang diberikan adalah 4500 cGy dengan cara dibagi menjadi beberapa fraksi (umumnya 25 fraksi dari 180 cGy) selama 6 minggu. Pemberian fraksinasi ini dapat meminimalkan cedera pada jaringan sekitar. Sekitar 60% pasien mencapai normalisasi IGF-1 dalam waktu 10 tahun. Efek samping adalah hipopituitarisme yang dapat berlangsung bertahun-tahun setelah penghentian radiasi. Pemeriksaan setiap tahun perlu dilakukan untuk menilai hipopituitarisme.[3,12]
Iradiasi Tunggal Stereotaktik Dosis Tinggi
Cara ini bekerja dengan menggunakan pisau gamma atau stereotactic multiple arc radiotherapy, di mana radiasi dosis tinggi akan disinarkan ke area yang telah dipetakan sebelumnya. Ketika melakukan radioterapi, perlu memperhatikan batasan paparan radiasi (<8 cGy) pada kiasma optikum. Kelemahan adalah penyakit yang tidak terlihat secara radiologis tidak akan teratasi, karena radiasi hanya diberikan ke area yang telah dipetakan. Efek samping adalah hipopituitarisme dengan perkembangan yang sama dengan iradiasi eksternal.[3,12]