Pendahuluan Sindrom Mielodisplasia
Sindrom mielodisplasia atau myelodysplastic syndrome (MDS) adalah kelompok kelainan hematologis klonal yang ditandai dengan disfungsi sumsum tulang, hematopoiesis inefektif, dan sitopenia progresif. Kondisi ini berisiko mengalami transformasi menjadi leukemia mieloid akut akibat mutasi genetik serta kelainan epigenetik.[1-5]
Pada sindrom mielodisplasia, kelainan klonal dari sel punca hematopoietik akan mengakibatkan displasia dan hematopoiesis yang inefektif pada sumsum tulang. Penyakit ini terjadi akibat mutasi genetik yang terjadi secara acak dan terakumulasi dengan usia atau berhubungan dengan faktor risiko paparan terhadap toksin seperti radiasi atau kemoterapi. Pada kebanyakan kasus, etiologi dari sindrom mielodisplasia seringkali tidak diketahui.[1,3]
Saat ini, diketahui bahwa pada pasien yang terdiagnosis dengan clonal hematopoiesis of indeterminate potential (CHIP) berdasarkan mutasi somatik seperti gen DNMT3A, TET2 and ASXL1 memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya sindrom mielodisplasia sebesar 0,5 hingga 1% per tahun. Sindrom mielodisplasia seringkali terdiagnosis pada pasien usia di atas 65 tahun, dengan median usia onset yaitu 70 hingga 75 tahun.[1-3]
Sekitar seperempat pasien dengan sindrom mielodisplasia dapat bertransformasi menjadi leukemia mieloid akut. Manifestasi klinis sindrom mielodisplasia yaitu berkurangnya sel darah merah, platelet, dan sel darah putih. Pasien seringkali datang dengan anemia, trombositopenia, atau neutropenia. Manifestasi klinis berupa gejala anemia, perdarahan, atau hasil laboratorium darah yang abnormal pada pemeriksaan rutin.[1,2,5]
Hingga saat ini masih belum terdapat parameter diagnostik untuk mendiagnosis sindrom mielodisplasia. Korelasi antara informasi klinis dan temuan hasil laboratorium diperlukan untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, morfologi, flow cytometry, sitogenetik, dan Next Generation Sequencing (NGS).[4]
Terapi sindrom mielodisplasia bervariasi dan tidak semua pasien membutuhkan terapi inisial. Terapi dapat diberikan pada pasien yang mengalami gejala simptomatis seperti pasien-pasien yang membutuhkan transfusi darah. Prognosis dan angka kesintasan bergantung pada beberapa faktor seperti derajat sitopenia, persentase blast pada darah perifer dan sumsum tulang, serta kariotipe.[1]