Penatalaksanaan Sindrom Mielodisplasia
Penatalaksanaan sindrom mielodisplasia dilakukan berdasarkan gejala dan potensi morbiditas yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Pada tidak selalu memerlukan pengobatan apabila tidak bergejala. Sebagian besar terapi sindrom mielodisplasia bersifat suportif seperti transfusi darah atau transfusi trombosit secara berkala.[1,11,13]
Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat dilakukan adalah transfusi darah atau transfusi trombosit secara berkala sesuai indikasi, gejala klinis, dan nilai laboratorium pasien. Pada individu dengan risiko rendah, faktor pertumbuhan hematopoiesis dapat digunakan. Pada pasien tersebut, kadar eritropoietin harus diukur.[1,2]
Apabila eritropoietin kurang dari 500mU/mL, agen stimulasi eritropoiesis seperti eritropoietin rekombinan atau darbepoetin dapat digunakan dengan atau tanpa granulocyte colony-stimulating factors (G-CSF).
Azacitidine dan decitabine merupakan analog pirimidin yang diklasifikasikan sebagai agen hipometilasi atau pengubah epigenetik. Dosis rendah obat-obatan ini telah terbukti membantu dalam diferensiasi sel blast menjadi sel dewasa. Agen-agen ini dapat diberikan per bulan, kemudian respon terapi dinilai setelah beberapa bulan.[1]
Terapi Spesifik
Salah satu terapi spesifik yang bersifat kuratif untuk sindrom mielodisplasia adalah transplantasi sel hematopoietik alogenik. Transplantasi sel hematopoietik alogenik memberikan manfaat berupa peningkatan kelangsungan hidup pada pasien dengan sindrom mielodisplasia tingkat lanjut atau risiko tinggi. Risiko terkait transplantasi sel hematopoietik alogenik adalah toksisitas akut, risiko terkait fase aplasia seperti infeksi dan perdarahan, risiko penyakit imun, dan risiko kekambuhan.[2,11]
Terapi Sindrom Mielodisplasia Risiko Tinggi
Pada pasien yang memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia mieloid akut (AML) dan memiliki harapan hidup yang lebih pendek, pilihan pengobatan mencakup allogeneic stem cell transplantation (allo-SCT), hypomethylating agents (HMAs), dan kemoterapi intensif. Dalam kebanyakan kasus, terapi lini pertama yang direkomendasikan adalah HMA, seperti azacitidine, terutama untuk pasien tanpa komorbiditas yang tidak memenuhi syarat untuk allo-SCT.[13]
Azacitidine
Azacitidine digunakan sebagai pilihan pada pasien risiko tinggi yang tidak memenuhi syarat untuk allo-SCT. Penggunaan azacitidine dianggap lebih baik dibandingkan dengan alternatif HMA seperti decitabine. Penggunaan azacitidine dapat memperpanjang kesintasan hingga median 15-24 bulan. Azacitidine diberikan dalam setidaknya enam siklus dengan dosis 75 mg/m² selama tujuh hari berturut-turut, diberikan setiap 28 hari.[13]
Kemoterapi Intensif
Kemoterapi yang digunakan disebut sebagai AML-like chemotherapy, yang merupakan regimen kemoterapi intensif dengan kombinasi antrasiklin (seperti idarubicin) dan cytarabine, terutama pada pasien yang memiliki kariotipe normal dan berusia < 70 tahun serta memiliki > 10% sel blast di sumsum tulang. Namun, pengobatan ini hanya efektif untuk pasien tanpa kelainan sitogenetik yang buruk.
Dalam beberapa uji klinis, regimen kemoterapi intensif menunjukkan hasil yang kurang optimal dibandingkan terapi HMA. Meski demikian, kemoterapi intensif bisa menjadi pilihan sementara untuk menurunkan jumlah blast sebelum allo-SCT dilakukan.[13]
Allogeneic Stem Cell Transplantation (allo-SCT)
Allo-SCT tetap menjadi satu-satunya pengobatan yang berpotensi bersifat definitif pada pasien risiko tinggi. Namun, tantangan utama terapi ini adalah faktor usia, karena banyak pasien sindrom mielodisplasia berusia lebih dari 70 tahun, serta adanya komorbiditas yang dapat mempengaruhi kelayakan transplantasi.
Pemilihan donor juga merupakan faktor penting. Donor terbaik berasal dari saudara kandung yang HLA-identik atau individu yang tidak ada hubungan darah tetapi memiliki kecocokan HLA. Pada beberapa pasien, penggunaan donor haploidentikal atau darah tali pusat juga bisa dipertimbangkan.
Keberhasilan allo-SCT juga bergantung pada regimen conditioning yang digunakan, apakah reduced-intensity conditioning (RIC) atau pendekatan myeloablative. Risiko kekambuhan setelah RIC lebih tinggi, sehingga pada pasien di bawah 55 tahun tanpa komorbiditas, myeloablative SCT lebih disarankan.[13]
Terapi Sindrom Mielodisplasia Risiko Rendah
Pendekatan terapi untuk sindrom mielodisplasia risiko rendah difokuskan pada pengelolaan anemia, yang sering menjadi masalah utama pada pasien. Meskipun risiko perkembangan menjadi leukemia mieloid akut lebih rendah, sekitar setengah dari pasien lansia meninggal akibat penyebab lain, sehingga prioritas pengobatan difokuskan pada peningkatan kualitas hidup dan pengobatan sitopenia.
Untuk anemia, transfusi dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan tunggal. Namun, perlu diperhatikan bahwa transfusi berulang dapat menyebabkan beban besi yang berlebih dan komplikasi lain. Erythropoiesis-stimulating agents (ESA), seperti epoetin alfa atau darbepoetin alfa, merupakan terapi pertama untuk pasien risiko rendah tanpa del(5q), dengan respons eritroid yang dapat dicapai dalam 8-12 minggu. Jika dosis awal dari ESA tidak berhasil, terapi dapat ditingkatkan dengan menambahkan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF).
Pada pasien risiko rendah yang memiliki del(5q), anemia dapat diobati dengan lenalidomide, yang efektif pada sekitar 60-65% pasien dan dapat mengurangi kebutuhan transfusi. Lenalidomide juga terbukti efektif pada pasien dengan kromosom abnormal lain, meskipun resistensi terhadap lenalidomide sering dikaitkan dengan mutasi TP53.
Pada pasien yang tidak merespon ESA, pengobatan lini kedua seperti anti-thymocyte globulin (ATG), HMA, atau lenalidomide dapat dipertimbangkan walaupun efektivitasnya terbatas.[13]