Diagnosis Ankle Sprain
Diagnosis ankle sprain dilakukan berdasarkan keluhan pasien tentang rasa nyeri dan edema pada pergelangan kaki, yang biasanya didahului dengan riwayat cedera. Pada pemeriksaan fisik, biasa terdapat nyeri tekan pada anterior talofibular ligament atau calcaneofibular ligament. Klasifikasi ankle sprain dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahannya.
Anamnesis
Pasien dengan ankle sprain umumnya datang dengan keluhan rasa nyeri, edema, memar, atau spasme otot pada pergelangan kaki. Keluhan pasien kemungkinan disertai dengan adanya riwayat cedera pada pergelangan kaki.
Dokter perlu menanyakan mekanisme cedera, dan posisi kaki saat cedera terjadi, di antaranya inversi, eversi, rotasi, atau kontak langsung. Kemampuan pasien untuk menahan berat badan badan setelah cedera terjadi juga perlu ditanyakan. Biasanya, pasien ankle sprain masih dapat berjalan menggunakan kaki yang cedera, meskipun disertai rasa nyeri.
Rasa nyeri hebat yang terjadi mendadak mungkin menandakan adanya robek pada ligamen. Terkadang, pasien juga dapat mengeluh kaki terasa dingin atau adanya parestesia, jika terjadi kerusakan neurovaskuler. Selain itu, dokter juga perlu mencari tahu riwayat ankle sprain sebelumnya, dan kebiasaan berolahraga pasien. Riwayat penyakit lain, seperti arthritis, diabetes mellitus, neuropati, atau riwayat trauma lain perlu ditanyakan, karena berpotensi menjadi penyulit.[3,4]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ankle sprain adalah look, feel, move dan pemeriksaan fungsional. Pemeriksaan anterior drawer test yang dilakukan 4–5 hari setelah kejadian memiliki sensitivitas sebesar 84% dan spesifisitas sebesar 96% dalam mendiagnosis ankle sprain.[2,3]
Look
Pada inspeksi, perhatikan apakah ada ekimosis dan pembengkakan. Jika ekimosis dan pembengkakan sangat parah, mungkin terjadi fraktur pergelangan kaki dan bukan ankle sprain. Biasanya ekimosis tampak pada bagian medial atau lateral tumit.
Pembengkakan pada bagian anterior ligamen tibiofibular mengarahkan diagnosis ke pada high ankle sprain. Perhatikan juga kemampuan pasien berjalan, dan menumpukan berat badan pada kaki yang cedera.[2–4]
Feel
Palpasi perlu dilakukan pada 3 ligamen yang terdapat pada maleolus lateralis, yaitu anterior talofibular ligament (ATFL), calcaneofibular ligament (CFL), and posterior talofibular ligament (PTFL). Nyeri tekan biasanya ditemukan pada palpasi ATFL dan/atau CFL. Palpasi juga perlu dilakukan pada fibula proksimal untuk menilai adanya nyeri tekan dan krepitasi, yang mengarahkan diagnosis pada fraktur maisonneuve.
Pada palpasi ankle sprain, seharusnya tidak ditemukan nyeri tekan pada tonjolan tulang. Lakukan palpasi pada maleolus medialis, maleolus lateralis, dasar metatarsal ke-5, dan tulang-tulang di kaki bagian tengah (midfoot). Krepitasi dan deformitas tulang menandakan kemungkinan terjadinya fraktur. Nyeri yang terbatas pada bagian medial pergelangan kaki mengarahkan diagnosis pada medial ankle sprain.
Move
Pemeriksaan range of motion (ROM) aktif perlu dilakukan, terutama untuk menyingkirkan diagnosis banding, misalnya ruptur tendon Achilles. Pada lateral ankle sprain, gerakan inversi pasif dan plantarfleksi akan menimbulkan rasa nyeri. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan ATFL meregang maksimal.[2–4]
Pemeriksaan Fungsional
Pemeriksaan fungsional untuk mendiagnosis ankle sprain terdiri dari 4 pemeriksaan utama yaitu, anterior drawer test, squeeze test, external rotation test, dan talar tilt.
Anterior Drawer:
Pemeriksaan anterior drawer dilakukan untuk memeriksa stabilitas dari pergelangan kaki, khususnya anterior talofibular ligament (ATFL). Efektivitas pemeriksaan ini masih dipertanyakan pada kasus akut. Namun, sensitivitas dan spesifisitasnya meningkat apabila dilakukan 4–5 hari setelah cedera.
Pemeriksaan dilakukan saat pasien berbaring dengan posisi lutut fleksi 90° agar terjadi relaksasi kompleks gastrocsoleus, dan pasien diminta melakukan plantarfleksi 10–20°. Kemudian, tahan tibia dengan salah satu tangan dan tangan lain menarik tumit ke arah depan.
Lakukan pemeriksaan pada kedua kaki. Pada kaki yang mengalami cedera, akan terlihat pergerakan yang lebih banyak dibandingkan kaki yang tidak. Translasi kaki yang lebih besar 1 cm dibandingkan kaki yang tidak cedera menandakan adanya kelenturan berlebihan pada ligamen (ligamentous laxity).[4,14]
Talar Tilt:
Talar tilt test, atau disebut juga sebagai inversion stress maneuver, digunakan untuk melihat kelenturan ligamen lateral, secara khusus pada ligamen calcaneofibular. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menstabilisasi kaki bagian distal hingga posisi netral, kemudian pemeriksa melakukan gerakan inversi pada pergelangan kaki. Derajat inversi kemudian dibandingkan dengan kaki yang tidak cedera.
Normalnya, derajat tilt kaki berkisar antara 0–23°. Namun, terkadang pemeriksaan ini sulit dikerjakan akibat adanya nyeri dan pembengkakan.[3,6]
Squeeze Test:
Squeeze test digunakan untuk mendiagnosis syndesmotic sprain, setelah melakukan eksklusi untuk fraktur, sindrom kompartemen pada kaki, selulitis, kontusio, atau abrasi. Pemeriksaan akan melakukan kompresi fibula ke arah tibia, yang terletak di atasnya. Adanya rasa nyeri pada ligamen interosseous atau jaringan sekitarnya menandakan hasil tes yang positif.[14]
External Rotation Test:
Pemeriksaan rotasi eksternal dilakukan untuk menentukan integritas dari ligamen sindesmotik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien diminta untuk duduk setinggi lutut dan kaki dibiarkan menggantung. Selanjutnya, lakukan rotasi pada kaki pasien ke arah lateral. Pemeriksaan dinyatakan positif apabila terdapat nyeri pada sindesmosis.[3,6]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding pada ankle sprain, di antaranya ruptur tendon achilles, ankle impingement syndrome, dan fraktur pergelangan kaki.
Ruptur Tendon Achilles
Tanda dan gejala dari ruptur tendon Achilles dapat menyerupai ankle sprain, seperti memar, bengkak dan nyeri pada pergelangan kaki. Pada ruptur tendon Achilles, gejala diawali dengan merasakan sesuatu putus mendadak pada betis bagian bawah, diikuti dengan nyeri hebat. Pasien biasanya tidak dapat melakukan gerakan berjinjit pada kaki yang cedera. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya celah atau diskontinuitas pada tendon.[15]
Ankle Impingement Syndrome
Ankle impingement syndrome merupakan suatu kondisi terjadinya nyeri dan keterbatasan mekanik ROM pergelangan kaki yang diakibatkan oleh cedera traumatik, seperti ankle sprain, infeksi, serta penyakit rematologi, atau degeneratif. Berbeda dengan ankle sprain, nyeri pada sindrom ini bersifat kronis.
Pemeriksaan radiologi, dapat digunakan untuk membedakan dengan ankle sprain. Pada foto polos, dapat tampak osteofit pada bagian tibia anterolateral atau bone spur akibat mikrotrauma.[16,17]
Fraktur Pergelangan Kaki
Hal utama yang dapat membedakan pasien ankle sprain dan fraktur adalah kemampuan untuk berjalan. Pasien dengan ankle sprain masih dapat berjalan meskipun disertai dengan nyeri, berbeda dengan pasien fraktur yang umumnya sudah tidak dapat berjalan. Selain itu pada pemeriksaan fisik akan ditemukan krepitasi dan deformitas pada tulang.
Pemeriksaan rontgen pergelangan kaki dapat dilakukan untuk memastikan secara pasti terjadinya fraktur. Ottawa Ankle Rules dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan pasien mana yang memerlukan pemeriksaan radiografi.[3,6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto polos dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap fraktur kaki atau pergelangan kaki. Computed Tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) dilakukan apabila dicurigai cedera pada soft tissue dan lesi osteokondral.
Foto Polos
Foto polos dilakukan apabila dicurigai terjadinya fraktur. Ottawa Ankle Rules digunakan pada pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah pasien memiliki kecenderungan terjadinya fraktur, dan mengurangi penggunaan radiografi yang tidak perlu.[2,3]
Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI merupakan baku emas pencitraan ligamen pergelangan kaki dan cedera intraartikular. Namun, tidak rutin dilakukan, sebab insidensi ankle sprain terlalu tinggi, ketersediaan MRI masih terbatas, dan biaya yang mahal. MRI dapat bermanfaat untuk memastikan cedera pada ligamen sindesmotik.[5]
Computed Tomography (CT) Scan.
CT scan dapat dilakukan bila terdapat kebutuhan pencitraan jaringan lunak, atau pencitraan tulang menggunakan foto polos kurang baik hasilnya. CT scan juga bermanfaat untuk mendeteksi osteokondritis dan stress fractures.[3]
Klasifikasi Ankle Sprain
Klasifikasi untuk menentukan derajat keparahan ankle sprain disusun berdasarkan temuan klinis. Secara umum, ankle sprain grade I tidak disertai dengan kehilangan fungsi sendi. Pada grade II ditemukan gangguan fungsi sebagian, dan grade III ditandai dengan kehilangan fungsi sendi hampir secara total. Secara detail, keparahan ankle sprain dapat dilihat pada tabel 1.[2,3,5]
Tabel 1. Tingkat Keparahan Ankle Sprain
Grade | Robekan Ligamen | Bengkak dan memar | Kemampuan menahan beban | Nyeri tekan | Instabilitas Sendi |
1 | Ligamen robek sebagian (mikroskopik) | ringan | Masih dapat menahan beban | ringan | Stabil |
2 | Ligamen robek sebagian (makroskopik) | Sedang-berat | Sebagian pasien tidak dapat menahan beban | Sedang | Tidak Stabil |
3 | Ligamen robek sepenuhnya | Berat (bengkak >4cm) | Pasien tidak bisa menahan beban | Berat | Tidak Stabil |
Sumber: dr. Amelia Febrina, Alomedika. 2018
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra