Penatalaksanaan Plasenta Akreta
Penatalaksanaan plasenta akreta yang optimal biasanya mencakup persalinan yang terjadwal melalui operasi caesar elektif di usia kehamilan 34-36 minggu, sebelum onset persalinan spontan atau perdarahan. Sebelum persalinan diperlukan persiapan untuk pemantauan ketat, persediaan darah yang memadai, dan tim medis multidisiplin. Histerektomi terkadang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan, terutama pada kasus berat.[1,3,11,14]
Manajemen Saat Antenatal Care
Fase antenatal merupakan fase krusial untuk merencanakan pengelolaan dan penegakan diagnosis spektrum plasenta akreta. Pada fase ini, jika terkelola dengan baik akan mengurangi mortalitas dan morbiditas maternal. Pemeriksaan dengan USG merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan dan merupakan pemeriksaan lini pertama untuk mendiagnosis spektrum plasenta akreta.[1,3,14]
Adanya riwayat operasi caesar sebelumnya dan adanya plasenta letak rendah atau plasenta previa harus menjadi peringatan dini bagi tim antenatal untuk mengkatogerikan pasien sebagai risiko tinggi spektrum plasenta akreta.[14]
Manajemen Persiapan Persalinan
Pasien dengan spektrum plasenta akreta harus dirawat oleh tim multidisiplin dan ahli yang dapat menangani operasi pelvis kompleks. Fasilitas kesehatan rujukan pada kasus spektrum plasenta akreta haruslah memiliki tim multidisiplin, akses terhadap produk darah, ruang intensif dewasa, dan ruang intensif anak.[1,3,14]
Konseling sejak masa preoperatif harus menjelaskan tentang rencana dan metode pembedahan, strategi alternatif bila ada hal yang di luar perkiraan, serta menjelaskan terkait komplikasi penyakit. Penggunaan kortikosteroid antenatal untuk maturasi paru direkomendasikan untuk diberikan di usia 32-34 minggu.
Amniosentesis tidak direkomendasikan karena hasilnya biasanya tidak mempengaruhi keputusan klinis. Selain itu, tindakan sistoskopi dan pemasangan stent ureter rutin pada kasus spektrum plasenta akreta yang dicurigai melibatkan kandung kemih masih belum memiliki basis bukti yang kuat.
Mengoptimalkan nilai hemoglobin selama kehamilan sangat penting dan bila perlu berikan suplementasi. Keputusan kapan waktunya bersalin harus dibuat dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat untuk ibu dan bayi.[14]
Manajemen Persalinan dan Prosedur Intervensi
Persalinan caesar terjadwal dengan histerektomi dengan plasenta ditinggalkan in situ merupakan rekomendasi manajemen persalinan untuk spektrum plasenta akreta. Terdapat beberapa pendekatan untuk manajemen prosedur intervensi pada spektrum plasenta akreta, yakni teknik radikal dan konservatif.[1,3,14]
Teknik radikal terdiri dari histerektomi primer segera setelah bayi lahir, dan histerektomi tertunda atau sekunder yang dilakukan antara 3 hari hingga 12 minggu setelah bayi lahir, dengan membiarkan plasenta tetap pada tempatnya dan dilakukan repair sayatan histerotomi.
Sementara itu, teknik konservatif memiliki dua metode. Metode pertama yaitu meninggalkan plasenta secara parsial atau total in situ setelah bayi lahir, menghindari plasenta, dengan perbaikan sayatan histerotomi atau disebut juga sebagai manajemen ekspektatif. Metode kedua yaitu reseksi miometrium parsial atau pengangkatan sebagian area akreta setelah bayi lahir, tanpa mengintervensi plasenta, dan diikuti repair uterus.[14]
Persalinan harus dilakukan tanpa menginsisi plasenta. Jika tidak terdapat tanda-tanda pemisahan plasenta, percobaan untuk melepas plasenta tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan perdarahan hebat. Pada operasi caesar berulang dicurigai terjadi spektrum plasenta akreta dari tampilan uterus dan tidak ada indikasi persalinan segera, operasi caesar harus ditunda hingga fasilitas dan ahli yang tepat tersedia.[1,3,14]
Penanganan pada Persalinan yang Sudah Terencana
Persalinan yang dijadwalkan antara usia gestasi 34 0/7 hingga 35 6/7 minggu dianggap optimal untuk mengurangi risiko perdarahan hebat yang sering terjadi setelah 36 minggu. Penggunaan kortikosteroid antenatal untuk mematangkan paru-paru janin dianjurkan jika persalinan diantisipasi sebelum usia gestasi 37 0/7 minggu.
Pada saat operasi, pendekatan yang paling dianjurkan adalah histerektomi caesar dengan plasenta dibiarkan in situ setelah kelahiran janin untuk menghindari perdarahan masif. Pilihan insisi kulit dan uterus harus disesuaikan untuk menghindari plasenta dan memungkinkan akses optimal ke panggul. Koordinasi dengan bank darah untuk memastikan ketersediaan transfusi darah yang besar sangat penting.
Penggunaan asam traneksamat untuk mengurangi perdarahan dan meningkatkan luaran klinis ibu dapat dipertimbangkan, meskipun penggunaannya secara profilaksis belum memiliki basis bukti yang kuat. Terapi tambahan seperti terapi fibrinogen dan faktor koagulasi rekombinan dapat digunakan pada kasus perdarahan yang tidak terkendali.
Pasca operasi, pasien dengan plasenta akreta membutuhkan pemantauan hemodinamik intensif di unit perawatan intensif untuk mendeteksi dan menangani perdarahan lanjutan serta komplikasi lainnya. Pemantauan ketat terhadap tanda-tanda komplikasi seperti gagal ginjal, infeksi, dan edema paru sangat penting.[18]
Penanganan pada Persalinan yang Tidak Terencana
Apabila plasenta akreta dicurigai berdasarkan tampilan uterus dan tidak ada keadaan yang memaksa untuk segera melahirkan, operasi sebaiknya dihentikan sementara hingga ahli bedah yang lebih berpengalaman tiba. Tim anestesi harus diberitahu, akses intravena tambahan harus dipasang, produk darah harus dipesan, dan personel perawatan kritis harus diberitahu. Jika mobilisasi tim ahli tidak memungkinkan, pertimbangkan stabilisasi dan transfer pasien.
Ketika plasenta akreta ditemukan setelah uterus dibuka dan fetus telah dilahirkan, dan pengangkatan plasenta dengan cara biasa tidak berhasil, maka penutupan cepat uterus dan histerektomi harus dipertimbangkan. Mobilisasi sumber daya harus dilakukan bersamaan dengan operasi histerektomi yang sedang berlangsung. Jika pasien stabil setelah kelahiran fetus dan pusat kesehatan tersebut tidak mampu melakukan histerektomi dalam kondisi optimal, transfer pasien harus dipertimbangkan.[18]
Penanganan pada Plasenta Akreta yang Belum Terdiagnosis Sebelumnya
Plasenta akreta merupakan salah satu penyebab perdarahan postpartum, yang merupakan penyebab utama kematian ibu dan kegawatdaruratan medis. Perdarahan postpartum memerlukan resusitasi darurat dengan transfusi darah, pengendalian perdarahan dengan asam traneksamat, perbaikan tonus uterus, tamponade balon, dan histerektomi darurat.[18]
Pendekatan Konservatif dan Ekspektan dengan Tujuan Mempertahankan Kesuburan
Pendekatan konservatif dengan mempertahankan uterus dan manajemen ekspektan dilakukan untuk menghindari kehilangan kesuburan, perdarahan berat, dan cedera organ panggul. Metode konservatif biasanya melibatkan pengangkatan plasenta atau jaringan uteroplasenta tanpa mengangkat rahim, sedangkan manajemen ekspektan melibatkan meninggalkan plasenta baik sebagian atau seluruhnya di tempat.
Penggunaan pendekatan ini harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan berdasarkan kasus per kasus. Manajemen konservatif atau ekspektan sebaiknya hanya dipertimbangkan untuk kasus plasenta akreta yang sangat selektif setelah melakukan konseling yang mendetail mengenai risiko, manfaat yang tidak pasti, dan efikasi yang belum didukung basis bukti yang kuat.[18]
Pendekatan Konservatif:
Manajemen konservatif melibatkan pengangkatan plasenta secara manual atau melalui eksisi bedah diikuti dengan perbaikan defek yang dihasilkan. Saat ini, belum ada uji klinis acak yang membandingkan histerektomi dengan pendekatan ini. Meski begitu, beberapa data terbatas menunjukkan bahwa pendekatan konservatif menghasilkan penurunan signifikan kehilangan darah pada pasien dengan defek kecil.
Pada kasus di mana defek terlalu besar untuk diperbaiki, pengangkatan en bloc dari seluruh defek uteroplasenta diikuti dengan penutupan uterus dianggap dapat mengurangi kehilangan darah dan mempertahankan kesuburan. Pengangkatan plasenta juga bisa diikuti dengan pemasangan balon Bakri untuk mencegah histerektomi.[18]
Pendekatan Ekspektan
Manajemen ekspektan melibatkan ligasi tali pusat dekat plasenta dan meninggalkan plasenta di tempatnya. Bukti terbatas menunjukkan bahwa manajemen ekspektan memiliki tingkat keberhasilan yang bervariasi, dengan sebagian pasien tidak memerlukan histerektomi meskipun komplikasi seperti perdarahan dan infeksi umum terjadi.
Faktor keberhasilan manajemen ekspektan tampak berkorelasi dengan tingkat abnormalitas perlekatan plasenta. Dalam kasus plasenta perkreta, tingkat kegagalan manajemen ekspektan dan komplikasi berat lebih tinggi dibandingkan dengan jenis abnormalitas perlekatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan ekspektan mungkin lebih cocok untuk pasien dengan plasenta akreta yang kurang luas dibandingkan dengan plasenta perkreta yang lebih berat.
Tindakan Tambahan:
Tindakan tambahan seperti devaskularisasi uterus dengan penempatan balon arteri uterus, embolisasi, atau ligasi serta pemberian methotrexate pascapersalinan, telah digunakan untuk mengurangi kehilangan darah dan mempercepat reabsorpsi plasenta pada pasien yang mendapat penanganan konservatif dan ekspektan. Namun, penggunaan methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta dipertanyakan karena efek samping toksik yang signifikan dan potensi risiko bagi ibu.
Dalam kasus manajemen ekspektan dengan perdarahan persisten, reseksi histeroskopik dari sisa-sisa plasenta telah diusulkan sebagai pengobatan tambahan. Meski demikian, basis bukti keamanan dan efikasi dari prosedur ini masih sedikit.[18]
Histerektomi Tertunda:
Histerektomi interval yang tertunda merupakan turunan dari pendekatan ekspektan yang ditujukan untuk meminimalkan kehilangan darah dan kerusakan jaringan. Bukti ilmiah mengenai pendekatan ini masih sangat terbatas meskipun beberapa menunjukkan pengurangan signifikan kehilangan darah dibandingkan dengan histerektomi primer pada saat persalinan sesar.[18]