Penatalaksanaan Common Cold
Penatalaksanaan common cold atau selesma berfokus pada terapi suportif karena bersifat self–limiting. Pengobatan dilakukan untuk meredakan gejala, mencegah komplikasi, dan mencegah penularan.[6]
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi yang sering digunakan dalam penanganan common cold adalah obat batuk yang dapat dibeli secara bebas atau over the counter (OTC). Namun, berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil bahwa penggunaan obat batuk OTC tidak cukup efektif untuk mengatasi keluhan pasien, walaupun ada sebagian individu yang merasakan manfaat dari obat tersebut.
Selain itu, dilaporkan pula bahwa konsumsi obat sering kali tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Pada anak, dilaporkan sering terjadi kesalahan dosis dan frekuensi pemberian serta ditemukan beberapa efek samping akibat penggunaan obat tersebut.[14]
Beberapa obat yang dapat digunakan sebagai terapi suportif common cold adalah:
Terapi Simtomatik
Terapi simtomatik dalam penanganan common cold meliputi analgesik, dekongestan, antihistamin, dan antitusif.[3,6]
Analgesik dan Antipiretik:
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat digunakan untuk mengatasi demam, nyeri kepala, atau rasa tidak nyaman. Secara umum, OAINS bekerja dengan menghambat sintesis sentral dan pelepasan prostaglandin yang memediasi efek pirogen endogen di hipotalamus.
Selain itu, agen ini dapat memfasilitasi mekanisme lain, seperti penghambatan sintesis leukotriene, pelepasan enzim lisosom, aktivasi lipoksigenase, agregasi neutrofil, dan berbagai peran lain dalam fungsi membran sel.[3,6]
Naproxen dapat digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri ringan sampai sedang, dan dapat mengatasi keluhan demam. Dosis awal pemberian adalah 500 mg, selanjutnya dapat diberikan 250 mg setiap 6–8 jam atau 500 mg per 12 jam jika dibutuhkan.
Ibuprofen juga dapat digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri ringan sampai sedang dan demam. Ibuprofen bekerja dengan cara mencegah reaksi inflamasi dan nyeri dengan menghambat aktivitas siklooksigenase. Dosis ibuprofen yang dipakai adalah 200–400 mg per 4–6 jam.
Paracetamol dapat digunakan untuk mengatasi gejala demam. Obat ini bekerja secara langsung pada hipotalamus. Dosis paracetamol adalah 500 mg–1 gram atau pada anak <12 tahun 10–15 mg/kgBB/kali per 4–6 jam jika dibutuhkan.[6]
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua demam harus diberikan antipiretik. Demam adalah respon pertahanan tubuh untuk menyerang infeksi. Bila suhu >38OC atau terasa nyeri kepala dan anak menjadi tidak aktif, antipiretik dapat dipertimbangkan.[35]
Dekongestan:
Terdapat 2 jenis dekongestan yang dapat digunakan untuk kasus common cold, yakni dekongestan sistemik (pseudoefedrin) dan dekongestan intranasal (phenylephrine nasal). Secara umum, dekongestan topikal memiliki potensi yang lebih baik daripada dekongestan oral atau sistemik. Namun, penggunaan dekongestan topikal berkepanjangan harus dihindari untuk mencegah rhinitis medikamentosa.
Pseudoefedrin bekerja dengan cara merangsang vasokontriksi dengan mengaktifkan reseptor alfa–adrenergik mukosa pernapasan secara langsung. Pada kasus kongesti nasal, dosis yang digunakan adalah 60 mg peroral dengan pemberian setiap 4–6 jam jika dibutuhkan.[3,6]
Antihistamin:
Antihistamin generasi pertama, seperti diphenhydramine, chlorpheniramine maleate, dan brompheniramine, telah lama digunakan untuk mengatasi rhinrrhea pada common cold, tetapi sudah tidak direkomendasikan. Hal ini karena memiliki efek sedasi dan efek antikolinergik yang lebih kuat daripada antihistamin generasi kedua.[3,6]
Antihistamin generasi kedua, seperti cetirizine, desloratadine, fexofenadine, levocetirizine, dan loratadine, dikenal sebagai antihistamin dengan efek sedatif yang lebih dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efek antikolinergik yang lebih sedikit. Dipercaya golongan ini tidak memiliki efek yang signifikan terhadap common cold.[3,6]
Berdasarkan studi, sebenarnya efektivitas antihistamin baik generasi pertama dan kedua dalam mengatasi rhinorrhea tidak lebih efektif daripada plasebo. Studi metaanalisis Cochrane terhadap 32 uji klinis acak menunjukkan antihistamin monoterapi, baik generasi pertama maupun kedua, tidak lebih efektif daripada plasebo untuk penanganan batuk dan gejala lain pasien common cold. [18]
Hasil analisis oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2017 terkait dengan common cold menyatakan bahwa obat batuk over the counter (OTC), terutama yang mengandung antihistamin dan dekongestan tidak boleh diberikan pada anak dibawah usia 2 tahun. Antihistamin dan dekongestan memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien yaitu meningkatkan denyut jantung serta meningkatkan risiko terjadinya kejang bahkan kematian.[15]
Akan tetapi, beberapa uji klinis dan meta analisis melaporkan bahwa penggunaan obat OTC yang merupakan kombinasi dekongestan–antihistamin–analgesik bisa memberikan manfaat untuk orang dewasa dan anak yang berusia lebih tua.
Antitusif:
Jika dibandingkan dengan ekspektoran, agen antitusif memberikan efek yang signifikan untuk meredakan batuk yang berhubungan dengan common cold. Agen antitusif memiliki 2 mekanisme kerja, yaitu sentral deng perifer.
Mekanisme sentral, yaitu dengan meningkatkan ambang batas dari pusat batuk pada otak terhadap rangsangan, seperti mekanisme kerja codeine. Mekanisme perifer, yaitu dengan menurunkan sensitivitas reseptor di saluran pernapasan, seperti mekanisme dextromethorphan.[3,6]
Zinc
Berdasarkan penelitian secara in vitro, zinc dilaporkan dapat menghambat replikasi virus dan memiliki aktivitas melawan virus pernapasan, termasuk rhinovirus dan RSV.[3,6]
Penggunaan zinc pada common cold juga dapat membantu mengurangi gejala dengan menghambat proteolisis selama siklus sel rhinovirus, menstabilkan membran sel, mencegah pelepasan histamin, serta menghambat metabolisme prostaglandin. Namun, studi tidak menunjukan hasil yang sama pada pasien anak.[3,6]
Investigational Agents
Beberapa agen telah dan masih diteliti sebagai terapi infeksi virus. Pleconaril (capsid–binding agents) dapat menghambat sekitar 92% serotipe dari rhinovirus. Akan tetapi, penggunaan obat ini tidak disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) karena masalah keamanan, termasuk di antaranya adalah gangguan menstruasi.
Agen lainnya, pirodavir, diduga memiliki aktivitas antipicornavirus yang luas. Namun, hasil studi tidak menunjukan penurunan pelepasan virus atau penurunan gejala.[6]
Selain itu, terdapat interferon alfa yang efektif untuk pencegahan common cold, tetapi tidak memiliki hasil yang signifikan dalam mengatasi gejala common cold. Selain itu, harganya juga relatif mahal.
Agen 3C protease inhibitor (rupintrivir) sedang diteliti pada studi tahap kedua. Rupintrivir nasal spray diduga memiliki hasil yang baik dalam mengurangi gejala dan menurunkan hasil kultur virus.[6]
Terapi Lainnya
Terdapat bukti ilmiah pengaruh suplementasi mineral vitamin dan fitofarmaka untuk common cold. Terapi suportif lain yang umum digunakan adalah vitamin C, echinacea, madu dan terapi uap.
Beberapa klinisi menganjurkan pemberian suplementasi vitamin C untuk penanganan common cold. Vitamin C dosis besar diberikan untuk mencegah dan mengurangi gejala, tetapi sayangnya hasil studi menunjukan manfaat terapeutik yang minimal dan tidak memiliki peran pencegahan. Penggunaan vitamin C dosis tinggi pada anak–anak tidak dianjurkan.[1,6]
Studi yang meneliti echinacea purpurea memberikan hasil bahwa tidak terdapat penurunan risiko infeksi dan keparahan penyakit, jika dibandingkan dengan kelompok plasebo.[6]
Pemberian madu pada common cold belum sepenuhnya dibuktikan bermanfaat dalam banyak penelitian. Akan tetapi, madu memiliki kandungan antioksidan dan efek antimikrobial yang dapat membantu mengurangi keparahan gejala.[16,20]
Terapi uap menggunakan uap panas dinilai dapat membantu meredakan gejala gangguan pernafasan pada common cold, sayangnya terapi suportif ini tidak terbukti efektif. Sementara itu, Inggris, Amerika, Kanada, dan Australia tidak merekomendasikan terapi uap.[17]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli