Diagnosis Fever of Unknown Origin (FUO)
Diagnosis fever of unknown origin (FUO) dilakukan dengan anamnesis yang terfokus pada etiologi, serta pemeriksaan fisik yang berulang, hati-hati, dan terarah. Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan potentially diagnostic clues (PDCs). Dalam menentukan diagnosis diferensial, yang perlu diingat adalah mayoritas penyebab FUO.[8,10]
Anamnesis
Anamnesis yang tepat dan cermat memegang peranan penting dalam menentukan arah diagnosis. Ketika melakukan anamnesis, perlu mengidentifikasi potentially diagnostic clues (PDCs), yaitu semua gejala dan kelainan yang mengarah pada kemungkinan diagnosis.[8,10]
Riwayat Penyakit Sekarang
Dalam pengumpulan data mengenai riwayat penyakit sekarang, perlu dilakukan secara teliti dan cermat. Gejala-gejala tersebut mungkin terlihat tidak signifikan dan samar, namun dapat berkaitan karena FUO biasanya memperlihatkan manifestasi atipikal/tidak lazim dari penyakit yang umum.[12]
Penting untuk menanyakan onset penyakit yang sebenarnya dan riwayat kontak dengan penderita penyakit (terutama dengan pasien tuberkulosis). Kadang proses anamnesis riwayat penyakit ini perlu dilakukan berulang, didapatkan dari anggota keluarga lainnya atau teman, dan dilakukan oleh dokter lainnya.[12]
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat medis/operasi sebelumnya mencakup infeksi kronis (misalnya tuberkulosis, endocarditis, HIV), riwayat transfusi, riwayat keganasan dengan waktu dan tipe terapi yang diterima, terapi imunosupresif,riwayat prosedur invasif atau pembedahan (abses), riwayat penyakit dental (abses apikal, endokarditis bakterial subakut).[4,12]
Riwayat prosedur pemasangan katup prostesis, kateter vena indwelling, alat pacu jantung, defibrilator yang ditanam, sendi prostesis, implan kosmetik; dan riwayat penyakit psikiatri demam faktisius atau psikogenik.[4,12]
Riwayat Pengobatan
Penggunaan obat-obatan dapat menyebabkan drug fever. Perlunya mendapatkan informasi pemakaian obat-obatan, seperti over the counter, herbal, antimikroba, dan obat-obatan antiinflamasi dan antipiretik karena dapat menutupi derajat keparahan atau durasi demam.[12]
Riwayat Sosial
Hal-hal penting yang perlu ditanyakan meliputi riwayat perjalanan, daerah asal, status vaksinasi, kondisi tempat tinggal dan kerja, penggunaan obat-obatan terlarang, aktivitas seksual, paparan hewan dan serangga, kegiatan rekreasi dan kebiasaan makan yang tidak lazim.[12]
Riwayat Keluarga
Hubungan genetik sebuah penyakit dan paparan terdapat sebuah agen infeksi dalam keluarga dapat memberikan petunjuk diagnostik.[12]
Tabel 2. Petunjuk Diagnostik Potensial pada Anamnesis
Kategori Infeksi |
● Riwayat penyakit tuberkulosis ● Kontak dengan dengan hewan (demam Q, brucellosis, toksoplasmosis, penyakit cakaran kucing, atau trikinosis) ● Gigitan nyamuk atau kutu (ehrlichiosis/anaplasmosis, babesiosis, atau malaria) ● Paparan hewan pengerat/rodensia (demam gigitan tikus, relapsing fever, atau leptospirosis) ● Transfusi darah (ehrlichiosis, anaplasmosis, babesiosis, sitomegalovirus, atau human immunodeficiency virus) ● Penggunaan obat imunosupresif (sitomegalovirus, tuberkulosis) |
Kategori Peradangan Noninfeksi atau Reumatologi |
● Artralgia/mialgia (demam panas dingin merupakan penanda kuat bukan penyakit rematik) ● Batuk kering (arteritis sel raksasa/arteritis temporal) ● Ulkus oral (sindrom Behcet/lupus eritematosus sistemik) ● Gejala sendi dan limfadenopati general (Adult Still’s disease, lupus eritematosus sistemik) ● kolesistitis akalkulus (lupus eritematosus sistemik, periarteritis nodosa) |
Kategori Malignansi atau Neoplasma |
● Riwayat penurunan berat badan (0,907 kg/minggu) ● Anoreksia onset awal ● Pruritus/rasa gatal setelah mandi air panas ● Riwayat adenopati atau malignansi sebelumnya |
Gangguan Lainnya |
● Jika tidak termasuk kategori lainnya, perlu dipikirkan penyebab FUO adalah gangguan lainnya ● Demam yang periodik (neutropenia siklik) ● Riwayat limfadenopati (penyakit Rosai-Dorfman/Kikuchi) ● Nyeri leher/rahang (tiroiditis subakut) ● Tenaga medis (demam faktisius) ● Penyakit radang usus (enteritis regional) ● Alkoholisme (sirosis) ● Riwayat penggunaan obat (pseudolimfoma, demam obat) ● Riwayat penyakit keluarga (demam Mediterranean familial, sindrom hiper-IgD) |
Sumber: William Sumoro, 2023.[4]
Pemeriksaan Fisik
Perlu diperhatikan untuk melakukan pemeriksaan fisik yang lebih teliti pada beberapa aspek, yang dapat menjadi potentially diagnostic clues (PDCs). Selain itu, juga perlu untuk melakukan pemeriksaan fisik berulang agar dapat menemukan kelainan-kelainan yang sulit terdeteksi.
Tabel 3. Petunjuk Diagnostik Potensial pada Pemeriksaan Fisik berdasarkan Letak Anatomi
Letak Anatomis | Temuan | Diagnosis |
Kepala | Nyeri tekan sinus | Sinusitis |
Arteri temporal | Nodul, pulsasi yang berkurang | Arteritis temporal |
Orofaring | Ulserasi, nyeri tekan gigi
Oral thrush | Histoplasmosis diseminata, abses periapikal AIDS tahap lanjut |
Fundus mata/konjungtiva | Tuberkulum koroid, petekie, titik Roth | Granulomatosis diseminata*, endokarditis |
Tiroid | Pembesaran, nyeri tekan | Tiroiditis |
Jantung | Murmur | Endokarditis infektif/marantik |
Abdomen | Pembesaran kelenjar limfa krista iliaka, splenomegali | Limfoma, endokarditis, granulomatosis diseminata* |
Rektum | Fluktuasi perirektal, nyeri tekan Fluktuasi prostat, nyeri tekan | Abses
Abses |
Genitalia | Nodul testikular Nodul epididimis | Nodosa periarteritis Granulomatosis diseminata* |
Ekstremitas inferior | Nyeri tekan vena dalam | Trombosis atau tromboflebitis |
Kulit dan kuku | Petekie, splinter hemorrhage, nodul subkutan, clubbing | Vaskulitis, endokarditis |
Demam dan pola demam | Pola Pel-Ebstein (demam yang berlangsung selama 3 hingga 10 hari diikuti periode tanpa demam selama 3 hingga 10 hari) | Penyakit Hodgkin, tifus inversus pada tuberkulosis diseminata |
Keterangan: *granulomatosis diseminata (tuberkulosis, histoplasmosis, koksidioidomikosis, sarkoidosis, sifilis) |
Sumber: William Sumoro, 2023.[13]
Tabel 4. Petunjuk Diagnostik Potensial pada Pemeriksaan Fisik berdasarkan Etiologi
Etiologi | Temuan |
Anaplasmosis | Demam, nyeri kepala, artralgia, mialgia, pneumonitis, trombositopenia, limfopenia, peningkatan enzim hati |
Babesiosis | Artralgia, mialgia, bradikardia relatif, hepatosplenomegali, anemia, trombositopenia, peningkatan enzim hati |
Bartonellosis | Konjungtivitis, nyeri retro-orbital, nyeri tulang tibia anterior, ruam makular, lesi plak nodular, dan/atau limfadenopati regional |
Blastomycosis | Artritis, pneumonia atipikal, nodul pulmoner, dan/atau sindrom distres pernapasan dewasa; verukosa, nodular, atau lesi kulit ulserasi; dan prostatitis |
Brucellosis | Artralgia, hepatosplenomegali, lesi muskuloskeletal supuratif, sacroiliitis, spondilitis, uveitis, hepatitis, dan pansitopenia |
Coccidioidomycosis | Artralgia, pneumonia, kavitas pulmoner, nodul pulmoner, eritema multiforme, dan eritema nodosum |
Ehrlichiosis | Pneumonitis, hepatitis, trombositopenia, dan limfopenia |
Enteric fever (Salmonella enterica serovar Typhi) | Nyeri kepala, artritis, nyeri andomen, bradikardia relatif, hepatosplenomegali, dan leukopenia |
Histoplasmosis | Nyeri kepala, pneumonia, kavitas pulmoner, ulkus mukosa, adenopati, eritema nodosum, eritema multiforme, hepatitis, anemia, leukopenia, dan trombositopenia |
Leptospirosis | Nyeri kepala bitemporal dan frontal, nyeri tekan betis dan lumbar, sufusi konjungtiva, gagal hati dan ginjal, dan pneumonitis hemoragik |
Leishmaniasis (visceral disease) | Hepatosplenomegali, limfadenopati, dan hiperpigmentasi wajah, tangan, kaki dan/atau kulit abdominal (kala azar) |
Malaria | Demam, nyeri kepala, mual, emesis, diare, hepatomegali, splenomegali, dan anemia |
Psittacosis (Chlamydia psittaci) | Demam, faringitis, hepatosplenomegali, pneumonia, erupsi makulopapular, eritema multiforme, eritema marginatum, dan eritema nodosum |
Q fever (Coxiella burnetii) | Pneumonia atipikal, hepatitis, hepatomegali, bradikardia relatif, dan/atau splenomegali |
Rat-bite fever (Streptobacillus moniliformis) | Nyeri kepala, mialgia, poliartritis, dan ruam makulopapular, morbiliform, petekie, vesikular, atau pustular pada telapak tangan, kaki, dan ekstremitas |
Relapsing fever (Borrelia recurrentis) | Demam tinggi menggigil, nyeri kepala, delirium, artralgia, mialgia, dan hepatosplenomegali |
Tuberculosis | Keringat malam, penurunan berat badan, pneumonia atipikal, lesi kavitas pulmoner |
Tularemia | Lesi ulserasi pada tempat gigitan, pneumonia, bradikardia relatif, limfadenopati, dan konjungtivitis |
Whipple disease (Tropheryma whippelii) | Diare kronis, artralgia, penurunan berat badan, malabsorpsi, dan malnutrisi |
Sumber: William Sumoro, 2023.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada investigasi FUO meliputi pemeriksaan laboratorium, pencitraan, dan histopatologi. Perlu diperhatikan bahwa melakukan pemeriksaan penunjang memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan cermat, agar dapat mempercepat pemberian terapi dan mengurangi biaya dan toksisitas dari intervensi yang tidak diperlukan.[4,12,13]
Selain itu, penggunaan tes diagnostik yang tidak sesuai dalam evaluasi etiologi FUO dapat memberikan hasil positif palsu dan menyesatkan rencana pengobatan.[4,12,13]
Pemeriksaan laboratorium nonspesifik adalah langkah pertama dalam identifikasi etiologi berdasarkan hipotesis diagnosis dan dapat memberikan petunjuk diagnostik yang berguna.[4,14]
Pemeriksaan Laboratorium Tahap Awal
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah darah lengkap dengan diferensial, kultur, kimia darah, antibodi antinuklear dan faktor reumatoid, dan antibodi HIV.[4]
Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diferensial:
Penting untuk pendeteksian leukositosis, neutropenia, diferensial yang abnormal menunjukkan keganasan hematologi, dan anemia atau trombositopenia menandakan malaria, penyakit rickettsia, dan infeksi virus. Jika ditemukan adanya limfositosis atipikal, perlu melacak antibodi IgM cytomegalovirus dan antibodi heterofil.[4]
Kultur:
Kultur darah (minimal 2 set), kultur urin, dan urinalisis dengan pemeriksaan mikrosopis. Pemeriksaan dasar dan penting untuk mendiagnosis bakteremia atau infeksi saluran kemih dan dapat memberikan informasi mengenai sensitivitas antibiotik.[4]
Kimia Darah:
Kimia darah termasuk pemeriksaan lactate dehydrogenase (LDH), bilirubin, dan enzim hati. Bermanfaat untuk mendiagnosis hepatitis atau abnormalitas traktus hepatobilier seperti ikterus obstruktif dengan kolangitis. Jika ditemukan adanya enzim hati yang abnormal, perlu melacak serologi hepatitis. Peningkatan kadar LDH, meskipun tidak spesifik, merupakan petunjuk limfoma, leukemia, histoplasmosis, dan pneumonia pneumosistis.[4]
Pemeriksaan Skrining lainnya:
- Antibodi antinuklear dan faktor reumatoid: tes skrining untuk penyakit jaringan ikat dan autoimun
- Antibodi HIV: dipertimbangkan sebagai bagian dari pemeriksaan FUO
- Serologi demam Q: jika memiliki faktor risiko riwayat kontak dengan hewan ternak
- Elektroforesis protein serum: mieloma multipel)
- Tes Mantoux/tuberkulin: tuberkulosis
- Tes samar darah tinja: kanker kolon atau penyakit radang usus
- Kreatin kinase: miositis
- Laju endap darah dan C-reactive protein: inflamasi yang signifikan, tetapi tidak spesifik untuk penyakit infeksi [1,4,9]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi sebaiknya dipilih berdasarkan kategori FUO dan pola keterlibatan organ. Pemeriksaan rontgen toraks merupakan pemeriksaan diagnostik minimal yang perlu dilakukan.
Pemeriksaan computed tomography (CT) toraks berguna untuk mendeteksi nodul kecil yang menandakan penyakit keganasan, infeksi jamur, mikobakterium, atau nokardia; dan adenopati hilus atau mediastinum menandakan limfoma, histoplasmosis, atau sarkoidosis.
Magnetic resonance imaging (MRI) jarang diperlukan dalam pemeriksaan awal FUO, kecuali pada abses epidural spinal. Ekokardiografi (EKG) berperan pada endokarditis dengan kultur negatif dan miksoma atrium.[4,15]
Pemeriksaan pencitraan nuklir, seperti gallium-67 scintigraphy dan technetium-99m atau indium-111-labeled white blood cell scan bermanfaat untuk melokalisasi fokus infeksi atau inflamasi, namun tidak dapat mengidentifikasi etiologi demam.[12,15]
F-fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) dan FDG-PET/computed tomography merupakan modalitas mengidentifikasi letak inflamasi dan keganasan, seperti limfoma, penyakit Erdheim-Chester, endokarditis demam Q, atau infeksi cangkok aorta.[12,15]
Pemeriksaan Diagnostik Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dapat berupa biopsi, di antaranya biopsi kelenjar limfe, hati, dan sumsum tulang.
Biopsi Kelenjar Getah Bening:
Biopsi kelenjar getah bening merupakan pemeriksaan invasif yang paling sering dilakukan, berguna untuk diagnosis limfoma, toksoplasmosis, dan penyakit Kikuchi. Granuloma pada sampel kelenjar getah bening menandakan gangguan granulomatosa, seperti tuberkulosis, sarkoidosis, dan limfoma.
Pada pengambilan sampel biopsi kelenjar getah bening, perlu diperhatikan untuk menghindari pengambilan pada servikal anterior, aksila, dan inguinal karena hasilnya tidak spesifik dan sering dilaporkan dengan hasil peradangan non spesifik. Kelenjar getah bening yang diagnostik adalah nodus servikal posterior, supra/infraklavikular, epitroklear, hilar, mediastinal, atau retroperitoneal.[4,14]
Biopsi Hati:
Biopsi hati sebaiknya dilakukan untuk kasus diagnosis suspek tuberkulosis milier dan evaluasi hepatitis granulomatosa karena dapat membedakan granuloma akibat infeksi, gangguan autoimun, atau neoplastik.[4,16]
Biopsi Sumsum Tulang:
Biopsi sumsum tulang merupakan pemeriksaan penting pada diagnosis penyakit neoplasma, seperti limfoma maligna, leukemia, multiple myeloma, penyakit Erdheim-Chester, demam tifoid/enterik, penyakit Whipple, penyakit Castleman multisentris, infeksi intraseluler yang berkaitan dengan FUO (misalnya histoplasmosis diseminata), tuberkulosis milier.
Pada endokarditis bakterial subakut atau demam tifoid/enterik, dapat dipertimbangkan untuk melakukan biopsi sumsum tulang jika didapati hasil kultur darah negatif.[4,17]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini