Diagnosis HIV
Diagnosis infeksi HIV terutama ditegakkan dengan pemeriksaan serologi dan virologi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu mengarahkan diagnosis, namun gejala dan tanda yang muncul tidak khas untuk diagnosis pasti infeksi HIV. Gejala dan tanda yang muncul tergantung penyakit yang diderita sesuai stadium klinis infeksi HIV.[6,7]
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan identitas dan latar belakang pasien. HIV lebih rentan terjadi pada populasi kunci, yaitu pekerja seks, pengguna narkoba suntik (penasun), laki-laki seks dengan laki-laki (LSL), waria, dan warga binaan pemasyarakatan. Anamnesis juga perlu menanyakan latar belakang seksual pasien, yaitu mengidentifikasi riwayat paparan faktor risiko, seperti perilaku hubungan seks tanpa proteksi, pasangan seks berganti-ganti, memiliki riwayat penyakit menular seksual, penyalahgunaan obat dengan menggunakan jarum suntik yang sama bergantian, atau luka akibat jarum suntik.
Pasien umumnya memiliki keluhan yang tidak spesifik, seperti flu-like symptoms, tetapi dapat pula menunjukkan keluhan sesuai penyakit infeksi oportunistik yang diderita.[6,7]
Gejala yang muncul pada infeksi HIV juga dapat tergantung pada fase infeksinya. Pada fase serokonversi akut, pasien dapat mengeluhkan gejala flu-like symptoms, seperti demam, malaise, dan ruam generalisata. Pada fase asimtomatik, pasien tidak menunjukkan gejala namun dapat ditemukan limfadenopati generalisata. Pada fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), pasien dapat mengeluhkan gejala infeksi yang tidak biasa, berat, berulang dan sulit sembuh.[2,6,7]
Pemeriksaan Fisik
Tidak ada pemeriksaan fisik yang spesifik untuk mendiagnosis infeksi HIV. Temuan pemeriksaan fisik tergantung penyakit yang diderita sesuai stadium klinis infeksi HIV ataupun infeksi oportunistik yang dialami.[6]
Stadium Klinis Infeksi HIV
Terdapat 4 stadium klinis infeksi HIV berdasarkan tanda dan gejala yang dapat ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Stadium Klinis 1
Stadium klinis 1 tidak ada gejala. Pasien bisa mengalami limfadenopati generalisata persisten.
Stadium Klinis 2
Stadium klinis 2 ditandai dengan penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas (<10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) dan infeksi saluran pernapasan berulang. Pasien juga bisa mengalami herpes zoster, cheilitis angularis, ulkus mulut yang berulang, ruam kulit pada lengan dan tungkai yang gatal (papular pruritic eruptions), dermatitis seboroik, dan infeksi jamur pada kuku.
Stadium Klinis 3
Stadium klinis klinis 3 ditandai dengan penurunan berat badan yang banyak tanpa sebab yang jelas (>10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya), serta diare kronis yang tidak jelas penyebabnya selama >1 bulan. Pasien mengalami demam intermiten atau menetap yang tidak jelas penyebabnya selama >1 bulan, kandidiasis pada mulut, ataupun tuberkulosis (TB) paru.
Pasien juga bisa mengalami infeksi bakteri berat, seperti pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, dan bakteremia. Selain itu, dapat pula ditemukan stomatitis, gingivitis, atau periodontitis nekrotikan ulseratif akut. Pasien juga mengalami anemia (<8 g/dl), neutropenia (<500 μl), atau trombositopenia kronis (<50.000 μl) yang tak jelas penyebabnya dan berulang. Pasien juga bisa mengalami oral hairy leukoplakia pada lidah.
Stadium Klinis 4
Pada stadium klinis 4, pasien mungkin mengalami HIV wasting syndrome, pneumonia pneumosistis (jiroveci), pneumonia bakterial berat berulang, infeksi herpes simpleks kronis, kandidiasis esofageal atau kandidiasis di trakea, bronkus, atau paru-paru. Pasien juga mungkin mengalami TB ekstraparu, sarkoma Kaposi, infeksi cytomegalovirus, toksoplasmosis di sistem saraf pusat, ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstraparu termasuk meningitis, infeksi Mycobacterium non-tuberkulosis yang menyebar, leukoensefalopati multifokal progresif, kriptosporidiosis kronis, dan isosporiasis kronis.
Infeksi mikosis profunda, seperti histoplasmosis dan koksidiodomikosis, juga dapat terjadi. Selain itu, dapat pula ditemukan septikemia yang berulang, limfoma (serebral atau non-Hodgkin), karsinoma serviks invasif, leishmaniasis atipikal diseminata, serta nefropati atau kardiomiopati simtomatik terkait HIV.[10]
Diagnosis Banding
Terjadinya defek respon imun pada infeksi HIV memungkinkan terjadinya koinfeksi (infeksi oportunistik). Diagnosis banding infeksi HIV/AIDS adalah penyakit-penyakit yang dapat terjadi secara koinfeksi dengan infeksi HIV. Gejala dan tanda yang muncul akan sesuai dengan penyakit koinfeksi tersebut, sedangkan gejala dan tanda pada infeksi HIV tidak khas sehingga sulit untuk membedakan antara penyakit tanpa infeksi HIV atau penyakit yang berhubungan dengan infeksi HIV.
Anamnesis faktor risiko dapat membantu mengarahkan diagnosis dan diagnosis banding. Infeksi HIV perlu dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit infeksi yang serius, tidak biasa, berulang, dan sulit sembuh, terutama pada pasien yang memiliki faktor risiko.
Infeksi oportunistik yang dapat terjadi pada infeksi HIV juga dapat terjadi pada penyakit imunodefisiensi lain (bukan infeksi HIV) sehingga pertimbangan diagnosis infeksi HIV harus dilakukan kasus per kasus.[6,7]
Burkitt Limfoma Tipe Imunodefisiensi
Burkitt limfoma tipe imunodefisiensi berkaitan dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak dan merupakan endemi di daerah Afrika. Manifestasi klinis berupa pembesaran kelenjar getah bening di usus, organ reproduksi, hati, limpa, dan sumsum tulang belakang. Gejala lain pada Burkitt limfoma tidak khas namun mirip dengan gejala infeksi HIV yaitu penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, fatigue, berkeringat di malam hari, dan demam.
Berbeda dengan infeksi HIV, Burkitt limfoma tidak ditularkan. Diagnosis dilakukan dengan biopsi kelenjar getah bening yang membesar. Tes serologi HIV dapat dilakukan jika terdapat faktor risiko yang kuat.[17]
Kandidiasis
Kandidiasis sering koinfeksi dengan infeksi HIV, terutama kandiasis esofagus dan kandidiasis trakeobronkitis. Tanda dan gejala kandidiasis yang dapat muncul antara lain bercak atau erosi yang disertai rasa panas dan gatal di mulut, sudut bibir, vagina, lipatan kulit, atau perianal. Munculnya kandidiasis yang berat, berulang, atau sulit sembuh perlu dicurigai adanya HIV.[18]
Cryptosporidiosis
Berbeda dengan HIV yang dapat menyerang segala usia, penyakit ini terutama terjadi pada anak-anak dengan manifestasi utama diare. Pada kondisi diare menjadi kronis, keterlibatan sistem respirasi (sesak napas, wheezing, batuk, serak, croup) dan keterlibatan sistem bilier (sclerosing cholangitis, acalculous cholecystitis, papillary stenosis, pankreatitis) perlu dicurigai adanya HIV.[19]
Coccidioidomycosis dan Valley Fever
Coccidioidomycosis ditransmisikan via inhalasi (airborne transmission) sehingga terutama menyerang organ paru. Gejala yang dapat muncul seperti gejala flu, namun 60-65% kasus bersifat asimtomatik. Pasien dapat mengalami demam bersamaan dengan atralgia, eritema nodosum atau multiformis, dan nyeri dada, yang sering disebut San Joaquin Valley fever (Valley fever atau desert rheumatism). Pada kasus dengan keterlibatan ekstrapulmonal pada berbagai organ yang luas (kelenjar endokrin, mata, hati, ginjal, prostat, kavum peritoneal, kulit, jaringan lunak, sendi, sistem saraf pusat), perlu dicurigai adanya HIV.[20]
Cryptococcosis
Cryptococcosis terutama menyerang paru dan sistem saraf pusat, namun dapat juga melibatkan organ lain seperti kulit, prostat, dan tulang. Pada cryptococcosis dengan keterlibatan saraf pusat yang berat, distres napas akut (ARDS), dan lesi kulit, perlu dicurigai adanya HIV.[7,21]
Cytomegalovirus
Infeksi cytomegalovirus (CMV) dapat bersifat asimtomatik atau memunculkan gejala seperti flu dengan limfadenopati. Manifestasi infeksi CMV dapat melibatkan berbagai organ seperti pneumonia, hepatitis, ensefalitis, mielitis, kolitis, dan retinitis. Pada infeksi CMV yang melibatkan seluruh traktus gastrointestinal (upper dan lower gastrointestinal tract) dan retinitis, perlu dicurigai adanya HIV.[7,22]
Herpes Simpleks
Seperti HIV, herpes simplex virus (HSV) ditransmisikan melalui cairan atau sekresi tubuh yang mengandung virus HSV. Gejala yang muncul antara lain malaise, anoreksia, demam, limfadenopati, lesi vesikel berkelompok dengan dasar eritema, nyeri yang terlokalisasi, dan rasa terbakar pada lesi. Pada infeksi HSV berat yang melibatkan organ respirasi dan saraf pusat, perlu dicurigai adanya HIV.[7,23]
Immunoblastic Lymphoma atau Diffuse Histiocytic Lymphoma
Immunoblastic lymphoma adalah tumor ganas sel B. Gejala yang muncul antara lain limfadenopati, anemia, perdarahan, dan hepatospenolmegali. Kondisi ini juga dapat melibatkan traktus gastrointestinal, tulang, testis, dan saraf pusat. Berbeda dengan infeksi HIV, immunoblastic lymphoma tidak ditularkan. Tes serologi HIV dapat dilakukan jika terdapat faktor risiko yang kuat.[24]
Infeksi Mycobacterium avium complex
Mycobacterium avium complex (MAC) adalah agen patogen di paru-paru yang menyerang pasien imunokompromais. Penyebaran MAC dalam tubuh manusia terjadi secara limfogen, namun pada orang dengan infeksi HIV juga terjadi penyebaran secara hematogen ke hati, lien, sumsum tulang, sistem gastrointestinal, dan respirasi, sehingga menimbulkan disseminated MAC (DMAC). Infeksi HIV perlu dicurigai jika terjadi DMAC.[25]
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Penyakit ini tidak menular antar manusia namun dapat ditransmisikan secara vertikal dari ibu ke janin. Toksoplasmosis dapat bersifat asimtomatik atau muncul gejala ringan seperti flu dan limfadenopati. Pada toksoplasmosis dengan keterlibatan saraf pusat, retinokoroiditis, pneumonitis, dan septic shock–like presentation perlu dicurigai adanya HIV.[7,26]
Pemeriksaan Penunjang
Semua pemeriksaan HIV harus mengikuti prinsip 5C yaitu persetujuan pasien (consent, kerahasiaan (confidentiality), konseling (counseling), hasil tes valid/benar (correct test result), dan terhubung dengan layanan pengobatan, perawatan dan dukungan (connection to prevention, care, and treatment services).[1,7,10,15]
Pemeriksaan Serologi
Infeksi HIV didiagnosis dengan pemeriksaan serologi dan virologi. Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mendeteksi antigen dan antibodi terhadap HIV. Pemeriksaan serologi terdiri dari pemeriksaan antibodi saja atau pemeriksaan antibodi sekaligus antigen (antigen p24). Metode yang sering digunakan untuk pemeriksaan serologi adalah rapid immunochromatography test (tes cepat) dan enzyme immunoassay (EIA). Pemeriksaan serologi dapat digunakan untuk pemeriksaan skrining HIV.[3,7]
Pemeriksaan Virologi
Pemeriksaan virologi adalah pemeriksaan asam nukleat (nucleic acid test/NAT) untuk mendeteksi DNA HIV dan RNA HIV. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan virologi adalah polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan virologi digunakan pada bayi berusia dibawah 18 bulan, infeksi HIV primer, kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala klinis mengarah ke AIDS, dan konfirmasi hasil inkonklusif atau 2 hasil laboratorium yang berbeda.[3,7]
Pada bayi usia <18 bulan, WHO merekomendasikan pemeriksaan uji virologi pertama dilakukan pada usia 4-6 minggu. Bayi dengan risiko tinggi harus mendapatkan pemeriksaan PCR tambahan pada saat lahir dan usia 4 bulan jika hasil PCR pertama negatif. Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki uji virologi HIV, diagnosis presumtif infeksi HIV dapat ditegakkan jika terdapat kelainan terkait HIV disertai hasil serologi HIV yang seropositif. Penegakan diagnosis infeksi HIV presumtif harus segera dikonfirmasi dengan uji virologi (PCR DNA HIV) atau uji serologi setelah anak berusia >18 bulan.[7,10]
Selain mendeteksi DNA dan RNA HIV, pemeriksaan virologi juga dilakukan untuk mengetahui viral load. Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan jumlah virus HIV dalam darah, menandakan tingkat virulensi pasien, dan sebagai target terapi ARV. Diharapkan setelah terapi ARV, nilai viral load dapat turun hingga tidak terdeteksi yaitu 20-75 kopi/ml. Hal ini menandakan terapi ARV berhasil menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi tergolong rendah dengan terapi ARV.[2,3,6,7]
Viral load menunjukkan aktifnya replikasi virus yang berhubungan dengan progresi ke arah AIDS dan kematian. Pasien dengan viral load >30,000/mL memiliki risiko kematian akibat AIDS 18,3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan viral load yang sudah tidak terdeteksi.[6,7]
Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan HIV idealnya dilakukan setelah melewati window period, yaitu waktu antara terpapar HIV sampai dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik HIV. Window period setiap orang berbeda-beda dan juga bergantung pada metode pemeriksaan yang digunakan. Window period pada pemeriksaan NAT adalah 10-33 hari setelah paparan HIV. Window period pada pemeriksaan antigen/antibodi adalah 18-45 hari setelah paparan HIV untuk sampel darah vena dan 18-90 hari setelah paparan HIV untuk sampel finger prick. Window period pemeriksaan antibodi (pemeriksaan cepat dan pemeriksaan mandiri) adalah 23-90 hari setelah paparan HIV.[3]
Pada individu dengan HIV negatif yang memiliki risiko pajanan, konseling pasca pemeriksaan diperlukan untuk menganjurkan pasien melakukan tes ulang karena kemungkinan masih dalam window period. Tes ulang dilakukan 4-6 minggu setelah pemeriksaan pertama.[3,7]
Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan HIV diinterpretasikan positif jika:
- 3 kali pemeriksaan serologi dengan metode atau reagen yang berbeda semuanya menunjukan hasil reaktif, atau
- Terdeteksi HIV pada pemeriksaan virologi kuantitatif atau kualitatif
Hasil pemeriksaan HIV diinterpretasikan negatif jika:
- Hasil pemeriksaan serologi pertama nonreaktif, dan tidak ada faktor risiko
- Hasil pemeriksaan serologi pertama reaktif, namun hasil pemeriksaan serologi kedua dan ketiga nonreaktif, dan tidak ada faktor risiko
Hasil pemeriksaan HIV diinterpretasikan indeterminate jika:
- 2 dari 3 hasil pemeriksaan serologi nonreaktif, tapi ada faktor risiko atau pasangan berisiko[3,10]
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan HIV
Apabila hasil pemeriksaan HIV positif, pasien diberikan terapi ARV. Apabila hasil pemeriksaan HIV negatif namun berisiko, maka dianjurkan pemeriksaan ulang minimal 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Bila hasil negatif dan tidak berisiko, maka diedukasi mengenai perilaku sehat.
Apabila hasil pemeriksaan HIV indeterminate, maka tes perlu diulang dengan spesimen baru minimal 2 minggu setelah pemeriksaan pertama. Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. Bila tidak ada akses ke pemeriksaan PCR, rapid test diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Bila hasil tetap indeterminate dan faktor risiko rendah, hasil dinyatakan sebagai negatif.[10]
Skrining HIV pada Populasi Khusus
Pada orang dengan risiko tinggi seperti populasi kunci, dianjurkan melakukan tes HIV secara regular setiap tahun. Pada wanita hamil di daerah dengan prevalensi tinggi, dianjurkan melakukan tes HIV saat akhir kehamilan, saat persalinan, atau sesegera mungkin setelah persalinan.[6,7]
Pemeriksaan Setelah Terkonfirmasi HIV Positif
Pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mendeteksi adanya infeksi oportunistik dan sebagai pertimbangan terapi ARV.[7]
Hitung Sel CD4 (CD4 cell count):
Hitung sel CD4 dilakukan untuk menilai derajat imunodefisiensi dan sebagai indikator adanya risiko infeksi oportunistik. Rentang normal jumlah CD4 adalah 500-2000 sel/μL. Setelah terjadi serokonversi (HIV positif), jumlah CD4 akan terus menurun. Jumlah CD4 di bawah 200 sel/μL diindikasikan sebagai AIDS di mana risiko infeksi oportunistik tinggi.[2,6,7]
Pemeriksaan Penunjang Tambahan:
Pemeriksaan penunjang tambahan lainnya dilakukan sesuai indikasi dan kondisi klinis pasien. Pemeriksaan yang mungkin diperlukan mencakup hitung darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati, purified protein derivative (PPD) skin test untuk TB, pemeriksaan infeksi cytomegalovirus (CMV), ataupun pemeriksaan hepatitis.[6,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Abi Noya