Pendahuluan Opioid Use Disorder
Opioid use disorder atau penyalahgunaan opioid didefinisikan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5 (DSM-5) sebagai penggunaan maladaptif dari opioid yang diresepkan atau didapatkan secara ilegal dalam jangka waktu 12 bulan, menimbulkan gangguan fungsi dan kesehatan. Opioid adalah substansi yang bekerja pada sistem saraf pusat, salah satunya berhubungan dengan nyeri.[1-4]
Diagnosis jenis opioid use disorder dapat ditegakkan menggunakan kriteria DSM-5. Manifestasi klinis berbeda tergantung apakah pasien dalam tahap ketergantungan, putus obat, hingga intoksikasi. Tingkat keparahan gejala bergantung pada besarnya dosis yang digunakan dan berapa lama penyalahgunaan sudah berlangsung.[1,4-6]
Penatalaksanaan opioid use disorder adalah dengan opioid agonist therapy (OAT) sebagai terapi lini pertama, terutama buprenorfin dan metadon. Buprenorfin efektif dan aman, tetapi memiliki risiko putus terapi pada bulan pertama sehingga perlu pemantauan ketat dan alternatif bila retensi buruk. Metadon sama-sama direkomendasikan sebagai lini pertama, namun perlu kewaspadaan karena peningkatan risiko mortalitas pada bulan pertama terapi.
Slow-release oral morphine (SROM) menjadi pilihan lini kedua bila buprenorfin atau metadon tidak sesuai. Pada kasus pasien yang bermaksud menghentikan OAT setelah stabil, penghentian harus dilakukan secara tapering perlahan, dengan pemantauan dan dukungan adiksi jangka panjang.[5,7,8]
Edema pulmonal adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada opioid use disorder. Perhatian penting dalam prognosis opioid use disorder adalah kemungkinan kekambuhan yang cukup besar (25-79%).[4,8]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha
