Penatalaksanaan Opioid Use Disorder
Penatalaksanaan opioid use disorder atau penyalahgunaan opioid adalah dengan menggunakan opioid agonist therapy jangka panjang, terutama buprenorfin atau metadon sebagai lini pertama. Terapi ini bertujuan untuk menstabilkan penggunaan, mengurangi craving dan mencegah relaps. Pendekatan ini dilengkapi intervensi psikososial untuk meningkatkan retensi, serta strategi harm reduction seperti edukasi overdosis.[4,7]
Opioid Agonist Therapy
Opioid agonist therapy pilihan adalah buprenorfin dan metadon, karena keduanya terbukti menurunkan mortalitas hingga setengahnya dibanding tanpa terapi. Sediaan buprenorfin yang digunakan bisa berupa sediaan tunggal, ataupun sediaan kombinasi buprenorfin-nalokson.
Buprenorfin memiliki profil keamanan lebih baik di awal terapi tetapi retensi jangka panjang cenderung lebih rendah, sehingga pemantauan putus pengobatan diperlukan. Sebaliknya, metadon memiliki retensi yang lebih baik tetapi membawa risiko mortalitas lebih tinggi pada bulan pertama terapi, sehingga pemantauan ketat terhadap overdosis sangat penting pada fase inisiasi.
Bila terapi lini pertama tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi, slow-release oral morphine (SROM) direkomendasikan sebagai pilihan lini kedua. Meskipun uji klinis menunjukkan efektivitas SROM setara dengan metadon dan buprenorfin, beberapa studi kohort melaporkan peningkatan kejadian efek samping.[4,7]
Intoksikasi Opioid
Pada keadaan intoksikasi, penatalaksanaan dilakukan dengan mengidentifikasi kegawatdaruratan yang terjadi dan melakukan penatalaksanaan yang sesuai. Misalnya, pasien dengan henti napas atau henti jantung, akan ditangani sesuai algoritma resusitasi jantung-paru.
Nalokson
Terapi standar pada kasus intoksikasi opioid adalah pemberian nalokson. Nalokson merupakan antagonis reseptor μ kerja singkat. Obat ini dapat diberikan secara intravena, subkutan, atau intramuskular. Biasanya nalokson diberikan pada awal saat pasien dalam transpor menuju IGD atau pertama kali datang ke IGD.
Nalokson bekerja cepat dengan onset kurang dari 2 menit pasca pemberian intravena. Nalokson adalah obat antagonis opiat spesifik yang akan membalikkan efek depresi pernapasan dan sedasi yang disebabkan opioid.
Dosis awal pemberian adalah 0,4 mg. Dosis dapat dinaikkan setiap 2 menit sesuai respons pasien, dengan dosis maksimum 15 mg. Bila tidak ditemukan perbaikan pada gejala depresi pernapasan pasca pemberian 15 mg nalokson, harus dipikirkan penyebab depresi pernapasan lain.
Pasca pemberian nalokson dapat terjadi gejala hipoksemia yang persisten yang menunjukkan terjadi edema pulmonal. Pada pasien seperti ini, dibutuhkan intubasi dengan ventilator tekanan positif. Biasanya gejala akan membaik dalam 24 jam.[4,5,7-9]
Indikasi Rawat Inap
Pasien dengan intoksikasi opioid kerja pendek (misal: heroin) membutuhkan observasi yang lebih pendek dibanding pengguna opioid kerja panjang (misal: metadon).
Pasien yang diberikan nalokson umumnya juga memerlukan rawat inap. Penggunaan nalokson berulang atau dengan dosis yang lebih tinggi untuk memberikan respons biasanya membutuhkan perhatian lebih.
Pasien yang memiliki gejala lebih berat, seperti hipoventilasi, pneumonia aspirasi, penurunan kesadaran, dan edema pulmonal membutuhkan waktu observasi yang lebih panjang, bahkan perawatan di ICU.
Pada kasus tanpa komplikasi, dapat dilakukan observasi selama 12-24 jam, kemudian pasien dapat melanjutkan dengan terapi rawat jalan.[16]
Gejala Putus Obat atau Withdrawal Opioid
Penatalaksanaan intoksikasi opioid dengan nalokson tidak dapat mencegah kemungkinan terjadinya gejala withdrawal atau putus obat. Onset dan durasi withdrawal bergantung pada waktu paruh jenis opioid yang dikonsumsi. Gejala dapat terjadi pada 6-24 jam dari penggunaan terakhir, mencapai puncak dalam 24-48 jam, kemudian membaik dalam 5-10 hari.[5]
Kejadian withdrawal biasanya tidak berbahaya namun dapat menginduksi pengguna untuk menggunakan opioid kembali. Pencegahan withdrawal dapat dilakukan dengan terapi substitusi opioid golongan lain, seperti buprenorfin, kemudian dilakukan tapering off.[16]
Buprenorfin
Penggunaan buprenorfin pada pasien opioid use disorder memerlukan pendekatan induksi yang aman untuk mencegah precipitated withdrawal, yaitu kondisi ketika buprenorfin secara tiba-tiba menggantikan opioid agonis penuh yang masih terikat, sehingga memicu gejala putus obat akut. Terdapat beberapa pendekatan pemberian yang bisa digunakan, yaitu induksi standar, induksi dosis rendah, dan makroinduksi.[19]
Cara Induksi Standar:
Induksi standar mengharuskan pasien menghentikan seluruh opioid dan sudah berada dalam withdrawal sedang (Clinical Opiate Withdrawal Scale/COWS >12) sebelum dosis pertama diberikan. Proses ini biasanya berlangsung dua hari:
- Hari pertama dimulai dengan dosis 2 mg, kemudian diulang setiap 2–4 jam hingga total 8 mg
- Hari kedua dilanjutkan dengan dosis total hari sebelumnya dan dapat dinaikkan hingga 16 mg sampai gejala terkendali.
Tantangan utama metode induksi ini adalah kebutuhan periode abstinensi yang panjang, terutama pada pengguna fentanil, yang dapat membutuhkan waktu lebih dari tiga hari karena penyimpanan obat dalam jaringan lemak dan pelepasan lambat yang meningkatkan risiko precipitated withdrawal meski setelah puasa opioid berkepanjangan.[19]
Cara Induksi Dosis Rendah :
Untuk mengatasi keterbatasan induksi standar, pendekatan low-dose buprenorphine induction (LDBI) atau metode Bernese dikembangkan. Pendekatan ini memberikan buprenorfin dalam dosis sangat kecil (misalnya 0,2–0,5 mg) sambil tetap mempertahankan penggunaan opioid agonis penuh dalam jumlah yang perlahan dikurangi.
Dengan peningkatan dosis bertahap setiap hari, buprenorfin perlahan menggantikan agonis penuh pada reseptor tanpa memicu precipitated withdrawal, sehingga induksi menjadi lebih nyaman dan dapat dilakukan pada pengguna fentanil atau pasien dengan ketergantungan berat.
Protokol LDBI dapat berlangsung 2–9 hari, menggunakan tablet/film yang dipotong atau sediaan mikrogram (misalnya buccal patch), hingga mencapai dosis stabil 12–16 mg per hari untuk kemudian menghentikan agonis penuh.[19]
Penanganan Jika Precipitated Withdrawal Tetap Terjadi:
Jika precipitated withdrawal tetap terjadi, penatalaksanaan mencakup terapi simptomatik, serta strategi farmakologis untuk menstabilkan reseptor opioid. Salah satu pendekatan adalah memberikan tambahan 2 mg buprenorfin setiap 1–2 jam untuk meningkatkan tingkat okupansi reseptor, meskipun teknik ini kurang efektif pada pengguna fentanil.
Sebagai alternatif, bisa digunakan metode makroinduksi, yaitu pemberian buprenorfin dalam dosis besar hingga 20–32 mg pada hari pertama untuk secara cepat mensaturasi MOR dan mengurangi gejala. [19]
Tata Laksana Simptomatis
Pada pasien dengan withdrawal, selain penatalaksanaan untuk mengatasi gejala withdrawal, juga dilakukan penatalaksanaan untuk mengurangi gejala yang ada.
Pada pasien dengan keluhan nyeri otot, dapat diberikan paracetamol 1000 mg setiap 4-6 jam, maksimal 4000 mg, atau ibuprofen 600 mg setiap 6 jam jika pasien tidak memiliki riwayat ulkus peptikum.
Pada pasien dengan keluhan mual-muntah dapat diberikan ondansetron 4 mg setiap 6 jam, maksimal 16 mg/hari.
Pada pasien yang mengeluhkan kram perut, dapat diberikan dicyclomine 10-20 mg setiap 6-8 jam, maksimal 160 mg/hari.
Pada pasien dengan diare dapat diberikan loperamide 4 mg, dilanjutkan dosis 2 mg sesuai kebutuhan, maksimal 16 mg/hari,
Pasien dengan gangguan tidur dapat diberikan trazodone 25-100 mg sekali sehari pada malam hari.
Pada pasien dengan ansietas dan restless leg dapat diberikan hydroxyzine 25-100 mg setiap 6-8 jam, maksimal 400 mg/hari.
Pasien dengan gejala otonom seperti takikardia, hipertensi, dan berkeringat, dapat diberikan clonidine 0,1-0,2 mg setiap 6-8 jam, tetapi perlu dilakukan tapering jika diberikan selama lebih dari 7 hari.[19]
Opsi Terapi Lain: Metadon
Metadon adalah agonis opioid yang digunakan sebagai terapi substitusi dengan dosis 20-100 mg per oral sekali per hari. Penatalaksanaan menggunakan methadone biasanya berlangsung selama 1-2 tahun.
Dosis inisial umumnya berkisar antara 20-30 mg. Kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan hingga 80-120 mg per hari. Penyesuaian dosis dilakukan setiap minggu, dan dosis disesuaikan berdasarkan gejala withdrawal yang muncul.
Pengurangan dosis dilakukan sebanyak 10% dari dosis rumatan yang digunakan. Dosis dikurangi setiap 10-14 hari, sambil dilakukan pengawasan terhadap gejala relaps.
Metadon dapat menimbulkan efek samping berupa konstipasi, depresi pernapasan, pusing, sedasi, dan mual.[20]
Naltrexone Kurang Efektif
Naltrexone adalah opioid antagonis yang digunakan dengan kisaran dosis 50-100 mg per oral sekali sehari atau 3 kali per minggu. Sebuah tinjauan Cochrane menyatakan bahwa pemberian obat ini tidak lebih baik dibandingkan placebo sehingga secara umum tidak dianjurkan.[21]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha