Pendahuluan Rontgen Pelvis
Rontgen pelvis atau rontgen panggul digunakan utamanya pada evaluasi kasus trauma panggul, deteksi fraktur pelvis, dislokasi sendi panggul, serta penilaian osteoarthritis, tumor, dan kondisi inflamasi seperti ankylosing spondylitis. Secara garis besar, rontgen pelvis digunakan untuk menilai struktur tulang dan jaringan lunak di area panggul, termasuk tulang iliaka, ischium, pubis, sakrum, dan sendi-sendi pelvis.[1,2]
Rontgen pelvis umumnya dilakukan pada posisi supinasi. Pada posisi supinasi, proyeksi anteroposterior (AP) adalah proyeksi yang paling umum digunakan. Namun, pada beberapa kasus tertentu, posisi lain seperti posisi berdiri juga dapat dilakukan.[1]
Sebagai contoh, posisi berdiri tegak dapat lebih bermanfaat pada evaluasi kasus nyeri pinggang. Pada nyeri pinggang, umumnya nyeri dirasakan pada saat aktivitas harian seperti berjalan dan berlari, sehingga posisi tegak diharapkan dapat memberi lebih banyak informasi dibanding posisi supinasi.[1,3]
Pada pasien trauma tumpul dengan hemodinamik tidak stabil, rontgen pelvis dilakukan sebagai alat bantu penegakan diagnosis. Dari pemeriksaan rontgen pelvis proyeksi anteroposterior, dapat ditemukan diastasis simfisis pubis, fraktur rami pubik superior dan inferior, dan fraktur avulsi prosesus transversus lumbar kelima.
Proyeksi lain adalah proyeksi outlet, yang didapatkan dengan mengarahkan sumber sinar X miring dari arah kaki pasien dengan sudut 35° terhadap meja periksa. Posisi ini bisa menunjukkan fraktur sakral dan dislokasi kraniokaudal dengan lebih baik. Di sisi lain, posisi inlet (kemiringan 35° dari posisi kepala pasien terhadap meja periksa) memungkinkan deteksi pergeseran sendi sakroiliaka anteroposterior atau rotasi hemipelvis dengan lebih baik.[4]
Rontgen pelvis berhubungan dengan paparan radiasi berkisar antara 0,7–0,8 mSv. Jumlah dosis paparan ini 40 kali lebih tinggi dari radiasi rontgen toraks.[5]