Epidemiologi Clostridium Difficile Colitis
Secara epidemiologi, kasus infeksi Clostridium Difficile mengalami peningkatan di beberapa negara. Hal ini dipengaruhi oleh populasi lansia, angka resistensi terhadap antibiotik golongan fluorokuinolon, dan munculnya strain baru C. Difficile yang lebih virulent (BI/NAP1/027). Penggunaan penicillin dan clindamycin juga berpengaruh terhadap peningkatan insiden infeksi C. Difficile.[10]
Global
Secara global disebutkan bahwa pada 5% populasi orang dewasa dan 15-70% populasi bayi dan anak-anak umumnya terdapat kolonisasi dari Clostridium difficile. Kolonisasi tersebut meningkat lebih tinggi pada pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit ataupun pada tempat umum pelayanan kesehatan, seperti panti jompo.[2,6,8]
Selama dua dekade terakhir terjadi peningkatan angka insiden dan tingkat kematian infeksi C. difficile, baik di lingkungan rumah sakit maupun masyarakat umum. Hal ini disebabkan oleh penyebaran strain yang hypervirulent dan penggunaan antibiotik yang tidak sesuai.[6]
Di Amerika Serikat, Clostridium difficile menjadi penyebab utama infeksi nosokomial atau infeksi yang terjadi di kalangan pekerja kesehatan, menggantikan methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Pada lansia, risiko terkena clostridiosis mengalami peningkatan 2-4 kali lipat dibandingkan pada usia muda. Hal ini juga berlaku pada pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit.[6,8]
Di Eropa, angka insidensi clostridiosis meningkat 2-4 kali lipat dalam 1 dekade terakhir, khususnya pada pasien lansia yang menjalani perawatan di rumah sakit dalam waktu yang lama. Selain sebagai infeksi nosokomial, clostridiosis juga mulai banyak ditemukan sebagai community-acquired infection, dengan insidensi kurang lebih 11-28% per tahunnya.[6,8]
Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 di Indonesia, didapatkan angka prevalensi clostridiosis lebih tinggi dibandingkan negara tetangga sekitarnya. Prevalensi clostridiosis di Indonesia didapati 20.6% melalui pemeriksaan glutamate dehydrogenase (GDH), dimana didapati 5.6% positif ditemukan adanya toksin dari Clostridium difficile melalui pemeriksaan EIA.[9]
Pelaporan kejadian clostridiosis di Indonesia masih sangat sedikit. Hal ini dikarenakan kurangnya pemeriksaan detail terhadap kasus diare yang berkepanjangan. Pasien yang mengalami diare umumnya akan didiagnosis sebagai amebiasis tanpa adanya pemeriksaan lanjutan terhadap kemungkinan diagnosis clostridiosis. [9]
Mortalitas
Berdasarkan data dari American Journal of Gastroenterology, angka mortalitas disebabkan langsung oleh infeksi C. difficile sekitar 5%. Angka mortalitas akibat komplikasi clostridiosis mencapai 15-25%. Pada clostridiosis berat yang membutuhkan perawatan di ruang intensif angka mortalitas mencapai 34%.[2,8,10]